DUNIAÂ jurnalistik tengah menghadapi tantangan besar, salah satunya adalah fenomena "wartawan instan." Di berbagai kesempatan, banyak orang yang hadir di acara-acara liputan, mengaku sebagai wartawan, namun minim kompetensi dan etika profesional. Fenomena "datang, makan, pulang tanpa berita" kian menjadi cerminan nyata dari masalah ini. Wartawan tidak lagi menjalankan tugasnya untuk mencari informasi atau menyampaikan berita, melainkan hanya hadir untuk memanfaatkan fasilitas yang disediakan. Lalu, bagaimana bisa hal ini terjadi?
Salah satu akar masalah adalah kurangnya SDM wartawan yang kompeten. Di banyak media, terutama yang berskala kecil atau lokal, kualitas wartawan sering kali diabaikan. Rekrutmen wartawan dilakukan dengan standar yang rendah, lebih mengutamakan jumlah daripada kualitas. Ini menciptakan lingkungan di mana siapa saja bisa menjadi wartawan tanpa memiliki pengetahuan mendalam tentang jurnalistik atau etika profesional.
Tantangan ini diperparah dengan minimnya pelatihan yang memadai. Banyak media yang tidak menyediakan program pembinaan atau pendidikan jurnalis secara berkelanjutan. Akibatnya, wartawan yang tidak memiliki latar belakang jurnalistik sering kali hanya bergantung pada kemampuan seadanya, seperti sekadar bertanya-tanya di lokasi liputan tanpa memahami konteks atau signifikansi dari informasi yang mereka peroleh. Liputan pun menjadi dangkal dan kehilangan nilai edukatif yang seharusnya diberikan kepada publik.
Kemudahan untuk menjadi wartawan juga turut memperburuk masalah ini. Di era digital, siapa pun bisa mengklaim diri mereka sebagai jurnalis. Media daring, blog pribadi, atau bahkan akun media sosial sering dijadikan alat untuk "melabeli" diri sebagai wartawan, tanpa harus mengikuti proses verifikasi atau pelatihan yang memadai. Fenomena ini menciptakan ledakan jumlah wartawan tanpa ada peningkatan kualitas pemberitaan.
Ironisnya, beberapa dari mereka hanya ikut-ikutan menjadi wartawan untuk merasakan berbagai fasilitas yang ditawarkan dalam liputan acara, seperti makanan gratis, suvenir, atau bahkan uang transportasi. Mereka hadir di acara dengan harapan mendapatkan sesuatu untuk kepentingan pribadi, bukan untuk menjalankan fungsi mereka sebagai pengawas sosial yang menginformasikan publik. Tanpa adanya komitmen untuk menghasilkan karya jurnalistik yang bermutu, mereka pun pulang dengan tangan kosong, tanpa berita apa pun yang bermanfaat.
Fenomena ini kian menjadi karena mudahnya seseorang masuk ke dunia jurnalistik tanpa sertifikasi atau standar yang jelas. Di Indonesia, menjadi wartawan tidak memerlukan izin khusus atau sertifikat profesional. Selama ada media yang bersedia menerbitkan tulisan mereka, mereka bisa dianggap wartawan. Namun, ini membuka pintu bagi individu yang tidak memiliki pemahaman tentang tanggung jawab yang melekat pada profesi ini.
Masalah ini lebih buruk lagi ketika media tidak menegakkan standar yang tinggi. Media-media yang hanya mementingkan kuantitas liputan dan jumlah berita sering kali mengabaikan kualitas jurnalis yang mereka rekrut. Mereka lebih memilih wartawan yang murah atau bahkan tidak dibayar, selama mereka bisa hadir di acara dan memberikan liputan sekadarnya. Tanpa pengawasan dan pelatihan, kualitas pemberitaan semakin terpuruk.
Fenomena wartawan instan dan "datang, makan, pulang tanpa berita" membawa dampak yang serius bagi dunia jurnalistik. Pertama, kualitas berita yang disampaikan kepada publik menjadi rendah. Alih-alih mendapatkan informasi yang mendalam dan objektif, publik hanya disajikan berita permukaan yang tidak memberikan pemahaman yang memadai tentang isu yang sedang terjadi.
Kedua, kepercayaan publik terhadap media semakin menurun. Ketika publik melihat bahwa wartawan tidak lagi berfungsi sebagai penyampai kebenaran, melainkan hanya mengikuti tren demi keuntungan pribadi, kredibilitas media massa pun ikut terkikis.
Untuk mengatasi fenomena ini, media perlu mulai menegakkan standar yang lebih ketat dalam rekrutmen dan pelatihan jurnalis. Sertifikasi jurnalis juga bisa menjadi salah satu solusi untuk memastikan bahwa orang yang terjun ke dunia jurnalistik memiliki kompetensi dan integritas yang memadai. Selain itu, wartawan harus didorong untuk kembali kepada esensi profesi mereka menggali fakta, menulis berita yang jujur dan objektif, serta menyampaikan informasi yang relevan bagi publik.
Jika tidak, profesi wartawan yang mulia ini akan semakin kehilangan makna, tergerus oleh individu-individu yang hanya mencari keuntungan instan tanpa menghargai nilai-nilai jurnalistik yang sejati.