Di suatu sore, ufuk menguning dan mengeluarkan pendar merah. Menyalang. Mataku tertegun meneropong gelap yang mulai merayapi langit. Sebentar lagi horison akan tetutup kelam, gumamku dalam hati. Menjelang malam, aku melihat alam yang diperlakukan Tuhan dengan sangat sempurnanya. Aku dé javu. Ingatanku menggerayangi tahun-tahun, memutar sejarah dan kembali ke akhir abad 8 H, ketika seorang perempuan yang masih kecil tersedu menangis.
“Aku merasakan suatu kesedihan yang aneh sekali. Seolah-olah ada suatu jeritan di lubuk hatiku yang menyebabkan aku menangis. Bagaikan suatu munajat dalam pendengaranku yang tidak bisa aku hadapi kecuali dengan mengucurkan air mata.” Jawabnya ketika ditanya Abidah, kakaknya, mengapa ia selalu menangis. Kesedihan yang tak jelas itu baru diketahui jawabannya ketika sejarah akrab memanggilnya Rabiah al-Adawiyah, seorang putri dari sufi terkenal Ismail al-Adawiyah al-Qishiah.
Perempuan Basrah yang tidak mau menikah ini menjadi lambang untuk memahami cinta dari lini hubungan dengan Tuhan. Ia tidak peduli cinta mau dipahami seperti apa, diperlakukan seperti apa, diungkapan dengan apa. Yang ia tahu cinta dinikmati hanya untuk-Nya, suatu perasaan Cinta Ilahi yang kerap ia ungkapkan dalam bentuk puisi maupun prosa secara filosofis dengan kelindan indah yang akhirnya mengantarkan Rabiah kepada penyaksian dalam kesatuan intuitif.
Aku tahu, cara pengungkapan cinta laiknya Rabiah sudah dilakukan oleh Umar ibn al-Farid, seorang sufi dari Arab, Jalaluddin Rumi dari Persia, al-Hallaj, dan Yahya bin Muadz al-Razi. Mereka semua menggunakan cinta sabagai media untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Namun, Rabiah lain. Ke-lainannya membuatku selalu bertanya-tanya, mengapa dia menggunakan cinta untuk menuju Tuhan.
Rabiah berpuisi;
Aku mengabdi kepada Tuhan
Bukan karena takut neraka...
Bukan pula karena mengharap masuk surga...
Tetapi aku mengabdi karena cintaku pada-Nya
Ya Allah, jika aku menyembah-Mu karena takut neraka
Biarkan aku di dalamnya