Presiden Joko Widodo resmi menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri. Penetapan yang dilaksanakan di Masjid Istiqlal Jakarta itu membuat ribuan orang dari berbagai pesantren dan institusi pendidikan Islam gegap gempita menyambut hari bersejarah tersebut. Masyarakat Kutai Kartanegara Kalimantan Timur merayakannya dengan kirab dan menonton film dokumenter Resolusi Jihad dan Sang Kiyai yang digagas oleh Lakpesdam NU. Di Lombok Nusa Tenggara Barat Hari Santri juga dirayakan dengan kirab berbentuk pawai dua hari berturut-turut, 21-22 Oktober 2015.
Namun, penetapan Hari Santri juga menuai kritik hingga protes baik dari perseorangan maupun perwakilan dari ormas tertentu. Alasannya 22 Oktober yang dipilih Presiden Jokowi menimbulkan sikap skeptis, kritik, hingga protes yang pasti datang dari berbagai kelompok tertentu. Hari Santri juga akan membuat muslim Indonesia terkotak-kotak, reaksi psikologis yang berbeda-beda karena kebingungan akan predikat santri, hingga memunculkan kebanggaan identitas kelompok tertentu.
Reaksi senada juga dilontarkan beberapa netizen terkait penetapan tanggal dan bulan yang dipilih Presiden Jokowi. Menurut mereka, ada hari yang lebih “pantas” untuk ditetapkan sebagai Hari Santri seperti lahirnya tokoh Islam Indonesia, berdirinya pondok pesantren pertama di Indonesia sebagaimana penetapan Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei, yang diambil dari hari lahirnya tokoh pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara.
Reaksi demikian muncul sebagai imbas dari kecemburuan sosial yang berlebihan. Kecemburuan tersebut terindikasi dari santri-pesantren yang identik dengan ormas tertentu yaitu NU. Karena secara manusiawi, semua orang di dunia ini ingin berpartisipasi dalam lintasan sejarah dan terkenang di dalamnya namun bingung dengan apa yang harus dilakukannya dengan sejarahnya sendiri.
Apakah kekhawatiran di atas terbukti? Penulis rasa tidak. Toh, meskipun Hari Santri tidak ditetapkan sekalipun negeri ini akan tetap selalu dibayang-bayangi dengan kekhawatiran tentang kesatuan kedaulatannya sendiri.
Santri dan Sejarah Nusantara
Selama 350 tahun penjajah bercokol di Nusantara selama itu pula perjuangan rakyat untuk menuju kemerdekaan tidak pernah padam. Santri dan ulama adalah salah satu penentang yang berada di garda terdepan untuk berjuang melawan penjajah.
Perang Kuning (1740-1743) salah satu di antaranya. Perang ini merupakan aksi heroik perlawanan santri terhadap penjajah Belanda gabungan kekuatan antara pasukan Mas Garendri (Raden Mas Said), kaum Tionghoa, dan laskar santri. Aksi perlawanan ini terjadi di Cirebon, tegal, pekalongan, semarang, Lasem, hingga Tuban. Ada juga Perang Jawa (1825-1830) merupakan perang legendaris pimpinan Panngeran Diponegoro yang sangat masyhur itu. Bergabung pula Kiai Hasan Besari, Kiai Maja, dan beberapa jaringan kiai pesantren lainnya.
Selama kurun 1900-1942 kebangkitan ulama dan santrinya menemukan momentum yang tepat untuk segera meraih kemerdekaan. Di era ini sebagai manifestasi dari Kebangkitan Kesadaran Nasional dengan melihat kerusakan masyarakat Islam yang parah sebagai imbas dari penjajahan Barat, kebodohan, kemiskinan hilangnya rasa nasionalisme dan kekuatan politik Islam, para ulama, santri, dan ormas-ormas Islam bermunculan seperti Nahdatul Ulama, Perserikatan Muhammadiyah, Taswiroel Afkar, Perserikatan Ulama, Nahdatul Wathon, dan sebagainya. Mereka berjuang dengan semangat nasionalisme yang besar.
29 September 1945 tentara sekutu NICA mendarat di Tanjung Priok, Jakarta dan mencoba merebut kembali kemerdekaan Indonesia. Tantangan ini dijawab dengan dikeluarkannya Resolusi Jihad pada hari Senin 22 Oktober oleh KH. Hasyim Asy’ari yang memantik semangat 60 juta kaum muslimin di negeri ini untuk berjuang melawan penjajah. Imbas dari semangat melawan penjajah itu melahirkan Hari Pahlawan yang jatuh pada 10 November 1945 yang dikobarkan oleh Bung Tomo dengan teriakan Allahu Akbar.
Perjuangan ulama dan santri ditambah Resolusi Jihad tersebut telah menatapkan kebersatuan umat Islam Nusantara dalam persaudaraan dan persamaan nasib sepenanggungan dalam menghadapi penjajah. Sebagai penerus, sepatutnya kita menghargai jasa mereka dengan keinsafan dan kesadaran sebagai pribadi bangsa dan rasa terima kasih atas perjuangan panjang yang dilakukan segenap umat muslim di negeri ini.[]