Mohon tunggu...
Isom Rusydi
Isom Rusydi Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Orang Kampung

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hanip, Newton, dan Quhveh Khaneh [1]

14 Februari 2016   14:26 Diperbarui: 14 Februari 2016   15:08 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Resepmu mujarab, Pul,” kata Hanip suatu hari sambil tersenyum.

Sejak saat itu, rutinitas Hanip lebih padat dari biasanya. Pagi buta dia menghabiskan waktu bersama Suti, Sinud, dan segelas kopi. Ketika anaknya berangkat sekolah, Hanip Kopi pergi ke sawah setelah mampir dulu ke Warung Salimah menghabiskan secangkir kopi. Tengah hari, sambil merejang otot yang kelelahan ditemani beberapa keluarganya yang luar biasa ketagihan pada kopi, dan satu mug kopi tandas tanpa ampun diselingi setumpuk tawa. Sore hari segelas kopi pahit juga dirampungkannya di rumah Bahri, setelah itu di rumah Yadi, di rumah Hasan, Sini, Sueb, Miswar, Sutinah, Mastuki, Rahem, Sinar, Jelani, Pawaz dan terakhir di rumah Ali Kolor dengan segenap cerita dan domino. Bagaimana Sipul, tak jauh beda dengan Hanip Helm.

Hanip dengan kopinya tidak bisa dipisahkan. Dan teman-teman sekampungnya lebih senang jika Hanip minum kopi di rumah mereka. Meskipun begitu, dia tidak terlalu merisaukan apa yang pernah dikatakan teman-temannya tentang kebiasaan minum kopinya itu.

“Jika kau hidup di tahun 1656, kau bisa kena hukuman cambuk oleh Kerajaan Usmani gara-gara kopimu itu,” cetus Sahrul. Hanip hanya diam. Keyakinannya hanya satu, minum kopi itu dapat memberi ‘makanan’ bagi kebutuhan rohani sekaligus memberikan pengaruh yang baik bagi mentalitas seseorang. Selebihnya tak ada yang bisa mengubah kebiasaannya itu.

***

1.677 km dari rumah Hanip, Saniman dengan jari-jari kekar penuh percaya diri mengusap layar gadget 5 incinya. Di sampinya, satu mug Starbucks masih mengepulkan asap harapan pada wanita yang sudah didekatinya selama dua bulan lebih. Wajah tirus putihnya bersungut-sungut ketika inbox ringtone-nya jarang berteriak. Speaker aktif di pojok ruangan berdentam-dentam mengalunkan musik heavy metal sangat keras. Berjarak dua blok dari rumahnya, kedai Kopi Mato terbakar paripurna bersama si pemilik, Hanip.

Kedai Imajinatif, 2016

 

[1] Sebutan untuk warung kopi yang merebak di mana-mana di masa Kekaisaran Usmani

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun