Mohon tunggu...
ahmad atho lukman hakim
ahmad atho lukman hakim Mohon Tunggu... Guru - pengajar

guru madrasah diniyah PPRU I Putri Ganjaran dan abdi negara

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Guru Bukan Buruh Mengajar

31 Desember 2010   01:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:10 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Tidak dapat kita bayangkan bagaimana bangsa ini tanpa peran guru. Peradaban sebuah bangsa akan musnah, sebab guru salah satu tiang utamanya. Natsir pernah berkata, “Suatu bangsa tidak akan maju, sebelum di antara bangsa itu ada segolongan guru yang suka berkorban untuk keperluan bangsanya.” Tidak berlebihan jika guru dinobatkan sebagai pahlawan tanpa tanda jasa.

Jauh sebelum terbentuknya negara ini, sosok guru telah membuktikan pengabdiannya tanpa pamrih. Sosok guru seperti RA Kartini, HOS Cokroamonoto, Ki Hajar Dewantara dan lain-lain, dengan tulus membaktikan hidupnya untuk mencerdaskan masyarakat tanpa pamrih. Mereka tidak hanya membaktikan pikiran dan tenaganya, tetapi juga harta benda, bahkan nyawa, untuk mencerdaskanrakyat.

Zaman dahulu, figur guru adalah pejuang dan pelopor perubahan di masyarakat. Di kalangan pesantren, sosok kyai di samping sebagai pendidik juga menjadi penjaga moral dan melayani kebutuhan ketentraman batin masyarakat. Bahkan gerakan politik dan civil society yang dibangun pesantren masih mempengaruhi sistem politik dan tata sosial budaya Indonesia hingga hari ini.

Nilai ketulusan, pengabdian, pengorbanan dan kepeloporan yang sangat melekat pada sosok guru membuat masyarakat masih relatif menghormati guru hingga saat ini. Keberadaannya bagai udara; wujudnya sering tidak disadari, tersembunyi dari segala macam popularitas, namun perannya sangat besar untuk kemanusiaan. Karena kerja-kerja guru berada dalam kesunyian ditambah jaminan kesejahteraan yang kurang memadai, dahulu profesi guru jarang menarik perhatian. Bahkan beberapa waktu yang lalu, perguruan tinggi yang menyiapkan tenaga guru sempat “sepi peminat” dan bermetamorfosis menjadi universitas.

Nyanyian satir “Oemar Bakri” yang dibawakan Iwan Fals cukup mencerminkan nasib guru pada waktu itu. Hanya panggilan jiwa dan ketulusan mengabdilah yang membuat para guru bertahan. Penulis sendiri pernah merasakan betapa waktu itu sangat sulit mencari guru untuk mengajar di sekolah-sekolah pedesaan. Seorang teman penulis, sejak duduk di bangku SMP sudah mengajar di sekolah dasar di desanya, bukan karena tidak ada yang lebih pintar dari dia, tapi karena hanya dia satu-satunya yang mau menjadi guru.

***

Zaman sudah berubah, guru yang dahulu bukan profesi yang menjanjikan secara materi kini menjadi salah satu primadona di dunia kerja. Betapa tidak, UU Guru dan Dosen telah memasukkan guru menjadi profesi yang mendapat tunjangan dari pemerintah yang besarannya satu kali gaji. Seorang guru PNS di DKI Jakarta yang sudah mendapat tunjangan profesi berpenghasilan antara 7,8 - 8,1 juta per bulan (Kompas, 14/11/10). Meski kebijakan untuk peningkatan kesejahteraan guru tersebut masih belum menyentuh semua guru, tetapi adanyagood will dari semua unsur dalam negara ini untuk terus memperhatikan kesejahteraannya, maka profesi guru kini dipandang bermasa depan cerah. Sekolah keguruan yang dahulu kurang diminati, sekarang berjejal dipenuhi peminat.

Sebagai primadona profesi baru, yang perlu dijaga adalah jangan sampai fungsi dan peran guru terdegradasi tanpa nilai-nilai pengorbanan dan ketulusan. Dua hal ini tampaknya harus menjadi titik tekan di tengah tuntutan profesionalisme guru dan jaminan peningkatan kesejahteraannya. Tanpa semangat tersebut, segala macam kebijakan, termasuk program sertifikasi guru dan sebagainya, akan menjadi sia-sia.

Kita tidak bisa menutup mata terhadap ancaman tersebut. Banyaknya para guru berburu sertifikat untuk kelengkapan portofolio, berburu gelar akademik, plagiasi perangkat belajar adalah tanda-tanda yang mengancam keberlangsungan dunia pendidikan kita. Komersialisasi yang melanda segala bidang juga mengancam jiwa guru-guru kita. Lunturnya jiwa perjuangan yang tergantikan oleh semangat dan kecintaan akan dunia adalah lonceng kematian bagi peradaban bangsa ini.

Guru bukan buruh mengajar. Ia penghembus pertama peradaban. Eksistensinya dalam sejarahumat manusia adalah sebagai pemandu geraknya. Oleh karenanya dibutuhkan sosok guru yang berkarakter kuat, bermental pejuang, rela berkorbanan dan memiliki ketulusan yang besar.

Guru memang harus berusaha agar muridnya lulus UAN, akan tetapi guru juga harus menanamkan niali-nilai kejujuran. Guru tidak hanya sekedar pengajar dalam kelas, sosoknya harus menjadi teladan bagi murid dan masyarakat. Kita tidak membutuhkan guru-guru yang bermental materialis yang menempatkan profesi guru tidak lebih dari “pekerjaan” penghasil uang, tanpa tanggung jawab moral.

Sertifikasi guru untuk menjamin kualitas dan kesejahteraan guru adalah kebijakan dengan semangat yang baik dan perlu didukung. Akan tetapi, akan menjadi percuma jika mental para guru, birokrat dan pimpinan kita jauh dari nilai-nilai perjuangan. Jual-beli ijazah atau sertifikat, kongkalikong guru dengan birokrat dan penyelewengan sejenis lainnya sangat mungkin menyertai kebijakan tersebut. Kecenderungan mental bangsa Indonesia yang senang main “trabas”, tidak suka bekerja keras tetapi ingin hidup enak sebagaimana yang disampaikan Mochtar Lubis, masih menjadi virus-virus yang masih perlu kita waspadai menjangkiti para guru kita.

Untuk itu, perlu penyempurnaan secara terus menerus program peningkatan mutu guru. Kualitas guru hendaknya tidak diukur kemampuan transfer pengetahuan an sich akan tetapi juga kualitas kepribadian dan karakternya. Hal ini akan terwujud jika prinsip meritrokrasi, anti korupsi, dan kejujuran menjadi mental kita semua, terutama birokrasi pendidikan negeri ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun