Sudah delapan tahun sungguh tak terasa
Aku yang tetap merindu
Saat kau berbisik di telingaku
menajamkan matamu
menusuk jauh ke dalam sukmaku
Berikrar tiada cinta selainmu
Mulutku hanya bergumam tak mampu berucap seberanimu
Sadarku bahwa waktu punya garisnya sendiri
Kita hidup sedang mengikuti waktu
tak ada sedetikpun waktu yang mampu kita minta apalagi untuk menganulirnya
Kita seperti dua anak kecil
yang sedang merajut awannya masing-masing
Awan-awan hampa yang menggumpal mengiasi sudut bumi
Awan hitam, awan mega, awan putih
kita Awan tanpa dua huruf akhir
Aku membuat awan berbentuk tengkorak
Kamu membuat awan berbentuk kelinci
Ketika malam, badai besar menghancurkan awan itu
Aku mencurigaimu, bahwa kamulah yang menghancurkan awanku
Tapi, tidak sebaliknya
Kamu datang ke halaman rumah
Memintaku merajut ulang awan yang hancur
Kita dua anak kecil yang merajut awan bersama
Sejengkel demi sejengkal
semeter dan seterusnya hingga kita sadar
Awan yang kita rajut tidak jelas bentuknya
Kita dua anak kecil merajut ulang awan sendiri
Satu persatu waktu merangkai kita
dalam kesunyian masing-masing
Tak jarang hujan deras mengarsir awan kita hingga lebur
Sedikit demi sedikit kita merajut lagi
Ternyata merajut awan berdua keheningan menjadi sangat pekat
Kita dua anak kecil merajut kembali awan yang hancur berantakan
Baru saja kulihat awanmu lebih besar dari punyaku
Ternyata ada tangan lain yang membantumu merajut awan itu
Awanku menangis sekencangnya
karena lelah
Awanmu pun kecewa
karena tak tau harus bagaimana
Awan-awan yang sudah membumbung besar perlahan menghitam dan mengeluarkan rintikan air mata diiringi gemuruh disetiap tetesnya