Di Padang Firdaus dihuni oleh anak-anak yang lucu, menggemaskan dan suci. Mereka suka berlarian kesana-kemari, berteriak, bersahut-sahutan, dan tertawa. Di sana tidak hanya ada anak-anak saja, ada berbagai macam hewan, tumbuhan, buah-buahan, dan mengalir sungai madu. Anak-anak dapat hidup bebas melakukan apapun sesuka mereka tanpa ada yang memarahi jika mereka berbuat keliru. Di sana tidak ada musim hujan, dingin, kemarau, ataupun musim gugur. Tidak mersakan panas dan hujan karena hanya ada pagi dan malam saja. Pada pagi hari yang sejuk mereka bermain sampai hari menjadi gelap, di waktu malam yang terasa hangat mereka istirahat.
Setiap hari diantara mereka ada yang dikirim Tuhan untuk bertugas mengelola bumi sesuai dengan peran masing-masing. Semua ingatan sirna selama mereka hidup di Padang Firdaus. Tidak ada sedikit pun yang mereka ingat bahkan saat dalam rahim. Anak-anak yang bertaqwa kepada Tuhannya tidak pernah bertanya akan seperti apa kehidupan mereka di bumi nanti. Mereka hanya tau bahwa kehidupan di bumi akan sama menyenangkannya seperti di Padang Firdaus.
Satu per satu buah terjatuh dari pohon. Buah yang tumbuh tak selalu manis, buah yang manis susah sekali tumbuh. Daun yang jatuh sudah dituliskan skenarionya oleh Tuhan tentang kapan waktu yang tepat ia untuk mekar dan juga tanggal. Tak ada satu hembusan nafas kecuali sudah dituliskan skenarionya.
Pada tahun 2009 di musim hujan ia menikah dengan pria pilihannya, Pramono duda keren yang menjadi idaman para gadis pada masanya kini telah sah menjadi suami Fakinah. Kehidupan rumah tangga mereka bahagia dan dikaruniai dua orang anak yang saleha dan saleh. Suatu malam Pramono menjemput istrinya di tempatnya bekerja karena merasa terlalu lama menunggu istrinya keluar dari tempatnya bekerja, Pramono menjemputnya ke dalam. Tak disangka, tak habis pikir Pramono menyaksikan langsung istrinya sedang berciuman dengan teman kerjanya yang sama-sama masih memakai seragam.
Pramono tak kuat melihatnya dan langsung pergi keluar menghampiri motornya. Perasaan kesal, gelisah, cemas, mengaduk-aduk pikiran dan hatinya. Ia tak kuasa menahan tangisnya, tak pernah ia membayangkan sakit hati yang sesakit ini, istri yang paling ia cintai dan percayai ternyata mampu berkhianat. Memang sejak menikah ia sering melarang istrinya untuk bekerja, selain bukan kewajiban istri mencari nafkah juga menjadi suatu hal yang perlu bago seorang istri untuk merawat anak-anaknya. Sejak bayi anak-anaknya sudah dititipkan ke mertuanya, dirawat, diberi perhatian, dididik, disayangi bagai anak kandung sendiri.
"Mas, yuk pulang"Â sahut Fakinah sambil menepuk punggung Pramono
Tanpa sepatah kata pun keluar dari mulut Pramono, langsung tancap gas tanpa bertanya lagi atau sekadar mengobrol. Sepanjang jalan hati Pramono gelisah harus mulai dengan pertanyaan apa agar istrinya mau bercerita dengan jujur. Pramono takut jika istrinya marah kalau ia tanya tentang peristiwa keji itu. Sesampainya di rumah Pramono mengawali pertanyaan dengan berdehem untuk memberikan rasa berani dan percaya diri.
"Sayang, boleh aku bertanya sesuatu yang mungkin sensitif buatmu?"
"Boleh, apa itu?"
"Siapa pria yang tadi ngobrol denganmu?"
"Oh, itu rekan kerjaku, temen biasa memang agak akrab"
"Apa dia sudah menikah?"
"Sudah, memangnya kenapa kamu nanyain dia?"Â tertawa tipis
"Maaf, tadi aku melihatmu ciuman dengan dia"
Fakinah terdiam kebingungan
"Maksudmu nanya atau nuduh!!" bentak Fakinah
"Aku hanya ingin kamu jawab jujur saja tak perlu teriak begitu"
Fakinah langsung pergi meninggalkan Pramono pulang ke rumah orang tuanya. Rumah kontrakan mereka hanya berjarak sekitar 10KM ke rumah orang tua Fakinah. Ketika Fakinah sampai di rumah orang tuanya sekira pukul 20.40 di rumah hanya ada anak-anaknya saja. Fakinah menghiraukan sapaan ramah dari kedua buah hatinya dan langsung masuk ke kamar.
Suaminya sangat mencintai Fakinah namun semenjak Fakinah memiliki pria idaman lain di tempatnya bekerja, sikapnya menjadi kasar dan bengis terhadap suaminya. Rumah kontrakan yang ia sewa sudah berkali-kali diganti daun pintu karena semua dibuat rusak oleh tendangan kalut Fakinah. Rahayu dan Takim menjadi saksi bisu pertarungan ayah dan ibunya. Hampir semua perabotan di rumah hancur menjadi sasaran kemarahan Fakinah bahkan untuk minum saja menggunakan gelas plastik bekas akua.
Suatu sore ketika Pramono ingin mengajak pergi buah hatinya ia diajak bicara serius oleh ibu mertua. Pramono disuruh menceraikan Fakinah oleh ibu mertua. Atas dasar Fakinah sudah tidak ingin menjadi istrinya lagi ia sudah tidak mencintainya lagi.Â
Pernikahan mereka hanya bertahan empat tahun. Berselang enam bulan setelah admisitrasi perceraian selesai Fakinah meminta izin kepada ibunya untuk merantau ke Taiwan karena mendapat tawaran kerja yang jauh lebih baik. Sontak saja orang tuanya menolak karena ia sudah memiliki dua orang anak yang masih kecil yang masih butuh perhatian dan kehadiran 'minimal' ibunya. Dengan segala bujuk rayu dan iming-iming akan diberikan harta berlimpah oleh Fakinah akhirnya orang tuanya pun pasrah dan dengan berat hati membiarkan anak perempuannya hidup jauh dari anak-anaknya bahkan ibu dan bapaknya.
Anak-anaknya yang tak pernah merasakan ASI kini harus merasakan pedihnya ditinggal ayah dan ibunya. Ayahnya entah kemana tak pernah terdengar kabar berita tentangnya. Kini Rahayu sudah duduk dibangu SD kelas enam dan adiknya Takim baru bisa belajar jalan. Rahayu memanggil neneknya dengan sebutan mamah dan kakeknya dengan sapaan bapak. Kakek dan neneknya sangat menyayangi cucunya dengan tulus walaupun ibu mereka sering mengecewakan.
Sudah empat tahun Fakinah belum pulang, nomornya pun saat ditelpon tidak pernah tersambung. Satu minggu sebelum lebaran Idulfitri Fakinah menelpon ibunya untuk mengabarkan bahwa ia akan pulang dan minta dijemput dibandara pukul 20.00. Betapa lega hati orang tua yang mendapat kabar kalau anaknya baik-baik saja dan akan segera pulang. Selama di perantauan Fakinah hampir tidak pernah menelpon ibunya namun kiriman uang darinya selalu sampai itu pun hanya untuk keperluan anak-anaknya tidak ada sedikit pun memberikan uang untuk orang tuanya yang sudah menolongnya mengurus anak-anaknya.
Orang tua Fakinah telah sampai di bandara dan melihat seorang perempuan sedang hamil  menghampirinya dengan menggandeng anak perempuan.
"Hi, bu. Apa kabar?"Â sahut Fakinah kegirangan
Orang tua Fakinah kebingungan Rahayu dan Takim juga.
"Fakinah?" Tanya ibunya kebingungan
"Oh iya, Bu, Pak. Kenalin ini anakku Calya"Â sambil menarik tangan anaknya untuk salaman
"HAH??????? Kapan kamu nikah, kenapa tidak ada kabar?"Â jawab ibunya
"Saat itu aku sudah coba menelpon ibu berkali-kali tapi tidak ada jawaban"
"Tidak ada panggilan masuk darimu!"
Empat bulan berada di kampung halaman Fakinah hendak pergi lagi ke tanah rantau untuk memenuhi panggilan 'suaminya' dan tanpa membawa anaknya. Ia pergi meninggalkan beban baru untuk orang tuanya, padahal orang tuanya sudah tidak sanggup mengurus anak-anaknya dan mungkin nanti Fakinah akan pulang lagi membawa anaknya entah dari pria mana. Orang tuanya yang sudah berusia lanjut tak kuat untuk keluar rumah karena semua tetangganya menggunjing anaknya yang dianggap melacur di perantauan karena setiap Fakinah pulang pasti membawa anak.
Coba bayangkan rumah yang bisa dihuni oleh tiga orang harus berdesak-desakkan menjadi lebih dari empat orang. Adik-adik Fakinah sudah berkeluarga semua dan sudah memiliki rumahnya masing-masing. Tak pernah terbayangkan oleh orang tua Fakinah harus merasakan malu yang sangat besar karena memiliki aib keluarga yang sudah tersebar. Rumah sederhana itu saat ini berubah menjadi panti asuhan yang dihuni oleh anak-anaknya Fakinah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H