Sudah genap 70 tahun kaum kolonial hengkang dari Ibu Pertiwi. Eforia kemerdekaan merebak di mana-mana. Pesta rakyat membahana di seantero pelosok Negeri. Tapi tidak jauh dari Ibukota Jakarta, tepatnya di Kecamatan Telukjambe, Karawang para petani masih dijajah oleh bangsa sendiri. Dan penjajah itu adalah konglomerat properti, Agung Podomoro Land (APL) yang menggasak tanah warga di tiga desa, yakni  Desa, yakni Desa Wanasari, Desa Wanakerta, dan Desa Margamulya. Â
Darah dan air mata terus mengalir dari mata dan luka-luka para pemilik lahan yang berusaha mempertahankan hak mereka. Namun penguasa dan aparat penegak hukum negeri ini tidak menggubris derita kaum kecil, tetapi sebaliknya lebih berpihak kepada pengusaha yang bisa membayar mereka dengan rupiah. Perjuangan demi perjuangan belum membuahkan hasil. Namun warga tidak pernah berputus asa.
Pada momen Hari Kemerdekan Negara Republik Indonesia yang ke-70, senin (17/8), puluhan masyarakat dan sejumlah organisasi yang tergabung dalam Aliansi Tampar (Tim Advokasi Masyarakat Petani Karawang), Sepetak (Serikat Petani Karawang), LBH JMPH (Lembaga Bantuan Hukum  Jaringan Masyarakat  Peduli Hukum  Karawang,  PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (Jakarta), dan Tim Advokat DPP LRJ (Dewan Pimpinan Pusat Laskar Rakyat Jokowi), menggelar upacara bendera di atas lahan milik petani yang bersertifikat, tepat di depan posko penjagaan Brimob di jalan Kawasan Industri Konsorsium Desa Wanasari.
Upacara bendera dilakukan dengan penuh kesederhanaan namun khidmat, dengan diwarnai orasi semangat kemerdekaan atas kedaulatan tanah bagi petani. Dalam orasinya Sekjen Sepetak, Engkos Koswara mengecam keberpihakan aparat terhadap Agung Podomoro.Â
"Pasal 33 UUD 1945 sudah jelas bahwa rakyat harus disejahterakan. Kemudian Soekarno Presiden RI pertama kita juga jelas menciptakan UUPA No 5 tahun 60 sejatinya semangat untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat,"ucapnya.
Selain itu, Ketua PBHI Jakarta Simon F Tambunan mengungkapkan keberadaan aparat brimob Polda Jabar tersebut tidak berdasar. Terbukti, ketika pihaknya menanyakan kepada salah satu aparat itu untuk menunjukkan Surat Tugas, tidak ada satupun yang bisa menunjukkannya.   "Keberadaan aparat di atas lahan sengketa ini adalah ilegal, mereka ditugaskan tanpa adanya dasar,"tegasnya.
Kronologi Penyerobotan
Kronologi penyerobotan lahan milik petani Telukjambe Barat dimulai sejak tahun 1974, dengan adanya sewa lahan oleh PT Dasa Bagja (DB) selama 3 (tiga) tahun. Pada 1975, PT DB secara diam-diam mengajukan Hak Guna Usaha (HGU) atas tanah warga kepada Kanwil Agraria Jabar namun tidak dikabulkan. Pada 1986 secara diam-diam PT DB mengalihkan garapan tanah tersebut kepada PT Makmur Jaya Utama (MJU). Pada 1990, PT MJU mengalihkan garapan kepada PT Sumber Air Mas Pratama (PT SAMP) melalui Notaris Sri Mulyani Syafei, SH di Bogor. Pada tahun yang sama, PT SAMP melakukan pengukuran dan pematokan dengan menggunakan alat berat, yang mengundang protes dan aksi unjuk rasa warga ke Kantor DPRD Karawang.
Antara Tahun 1991/1992, Bupati Karawang menyarankan PT SAMP melalui oknum TNI melakukan pembebasan lahan dengan membayar kepada siapa saja yang mengaku penggarap bahkan ada yang dipaksa sebagai penggarap, bukan pemilik asli atau penggarap asli yang mempunyai girik.
Pada 2012 lahan tersebut dicaplok PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN) setelah perusahaan milik Trihatma Kusuma Haliman tersebut mengakuisisi 55% saham PT SAMP senilai Rp 216 miliar. Pada 24 Juni 2014, dengan mengerahkan sekitar 7.000 aparat kepolisian, atas putusan pengadilan yang sesat, Pengadilan Negeri Karawang mengeksekusi lahan warga yang mengakibtkan banyak warga terluka berat maupun ringan.