Belasan tahun yang lalu, saya masih seorang anak kecil yang beranjak remaja. Saya lahir dan tumbuh di kota Makassar, kota yang saat itu tidak terlalu megapolitan seperti saat ini adanya. Terlahir dari blasteran ayah yang bersuku Mandar dan ibu yang bersuku Makassar, saya menikmati masa kecil yang berkesan selama tumbuh besar di kota Anging Mammiri tersebut. Salah satu kenikmatan tersebut adalah kenangan dengan orang-orang yang hadir di dalam kehidupan saya dan mewarnai memori saya dengan beragam kisahnya. Salah satunya adalah dengan dia, seorang yang selalu saya hormati dan sayangi. Tak kenal maka tak sayang, itu kata pepatah. Dan berkat jasa ayah saya –pahlawan saya nomor satu – yang mengenalkan saya pada sosoknya, saya kemudian mengenalinya sebagai seseorang yang begitu bernilai dalam hidup saya dan keluarga besar kami.
Saya tak ingat kapan kali pertama bertemu dengannya. Yang selalu saya ingat adalah sosok dan raut mukanya yang begitu bersahaja dan berkharisma. Saya tak dapat memastikan sejak kapan dia menjadi orang yang begitu memesona dan berwibawa. Yang saya dapat pastikan ialah bahwasanya dia telah memesonakan saya dan juga ayah saya yang masih memiliki hubungan keluarga dengannya. Saya pun tak mampu mengungkapkan betapa penting tugas dan tanggungjawab yang diembannya pada saat itu dan beberapa saat setelahnya. Yang mampu saya ungkapkan hanyalah bahwa di mata saya yang masih polos saat itu, dia sejatinya merupakan seorang yang sangat amanah, sederhana tapi sungguh berani dan bertanggung jawab.
Di balik semua kesan dan pesona yang saya tangkap dari kepribadiannya, satu hal yang saya camkan tentang dia: kehadirannya senantiasa dirindukan, keberadaannya selalu dinantikan. Itulah yang saya lihat dari reaksi dan sikap keluarga besar kami, keluarga Mandar ini, apabila mengetahui dia kebetulan ada di Makassar untuk suatu urusan ataupun keperluan. Itulah yang saya saksikan dari ayah saya, yang memanggilnya A’ba (panggilan takzim kepada yang dianggap “ayah besar”, nampaknya serupa Abah di panggilan Sunda, ataupun Buya di Sumatera) dan getol menyambangi rumahnya yang mungil di salah satu sudut di kota Makassar. Itu pulalah yang saya rasakan dan alami secara langsung, manakala saya sering diajak oleh ayah yang bermaksud mendatangi rumahnya itu, berziarah dan bershilaturrahim kepadanya sebagai anggota keluarga, atau sekedar berdiskusi dan menimba ilmu darinya di sela-sela waktu luangnya yang tersisa.
Siapa dia sebenarnya? Saya pun bertanya-tanya, siapakah dia sesungguhnya...
Sepertinya dia bukan orang biasa di tengah orang kebanyakan pada masanya. Karena, rumahnya yang kecil lagi teduh itu hampir tak pernah sepi dari pengunjung dan kedatangan orang dari berbagai kalangan, termasuk di antaranya adalah para pencari berita. Mereka nampaknya datang dengan berbagai keperluan, kebutuhan dan aspirasi yang ingin disampaikan. Dan sepertinya mereka semua senantiasa menggantungkan harapan besar di pundaknya itu. Meskipun kelihatannya dia hanyalah seorang pria paruhbaya yang kurang menawan dipandang mata, namun aura yang mengelilinginya, serta pesona yang terpancar dari sorot matanya yang tajam juga dari cara bicaranya yang lugas dan tegas membuat hati orang yang masih punya nurani tertawan karenanya. Dan di tengah usianya yang tak lagi dibilang muda, energinya dan dedikasi yang dimilikinya seakan tak ada habisnya, yang mana senantiasa dia curahkan kepada siapapun yang membutuhkan dan meminta perhatiannya.
A’ba Barlop. Begitulah ayah saya memanggil dirinya. Dan saya memanggilnya pua, yang berarti “kakek” dalam bahasa Mandar. Tak banyak kenangan yang saya dapatkan bersama dirinya yang sungguh sangat sederhana, bersahaja, apa adanya dan tak dibuat-buat itu. Namun, sekelumit kenangan yang ditakdirkan terjadi antara dia, ayah saya, maupun saya sesungguhnya meninggalkan kesan yang amat dalam dan kemudian menjadikannya saya begitu menghormati dan mengaguminya. Saya adalah saksi dari beberapa sisi kehidupan dia yang mungkin masih belum diketahui banyak orang. Apa yang saya saksikan inilah yang ingin saya ceritakan, karena mungkin sedikit banyak warisan (legacy) darinya terselip dalam beberapa momen-momen berkesan ini.
Yang pertama adalah mengenai kesederhanaannya. Sedikit banyak saya mengetahui bahwa dia adalah seorang pejabat publik yang cukup terkenal, terhormat dan disegani pada saat itu, baik secara lokal, nasional, hingga regional/internasional. Tapi yang membuat saya kagum adalah betapa sederhananya dia dalam kehidupan sehari-harinya, terlepas dari berbagai jabatan prestisius maupun reputasi mentereng yang dia sandang. Ketika saya dan ayah saya bertandang ke rumahnya, adalah sebuah kebiasaan bagi dia untuk mengajak kami makan bersama-sama. Menunya pun sederhana dan khas makanan rumahan, bukan menu makanan yang berlebih-lebihan dan mewah. Di luar rumah pun, ketika ada jamuan makan, dia menyantap makanan seadanya, apa adanya, dan seperlunya saja. Masih banyak kisah lain yang menggambarkan kesederhanaannya dalam hidup yang hampir-hampir membuat kita tidak percaya dan menggelengkan kepala.
Kedua ialah tentang kejujuran, ketegasan dan keberaniannya. Saya pernah membaca cerita dimana ketika dia sedang dalam perjalanan dinas bersama seorang karibnya, lalu ada seorang pejabat yang juga merupakan teman baiknya yang bermaksud baik menanggung dan membiayai perjalanan dinas tersebut. Alhasil, dia menjadi bimbang, gamang dan tak tenang. Di depannya ada peluang untuk mengeruk “keuntungan” yang menggoda, yaitu memanfaatkan pertolongan teman yang ingin menanggung ongkos dinasnya sehingga biaya perjalanan dinas dari kantor bisa masuk ke kocek pribadi. Namun pada akhirnya, dengan tegas dia pun menolak mengambil yang bukan haknya tersebut. Dia sejatinya hanya bersikap jujur dan amanah pada tugasnya sendiri, sehingga tidak terpikirkan sedikitpun untuk melakukan hal-hal yang kurang terpuji dan melanggar batas. Soal ketegasan dan keberaniannya, ini pun merupakan sifat bawaan (trait) atau watak yang sudah melekat kuat pada dirinya dan dirinya pun dikenal serta disegani karenanya. Sebutlah contoh bagaimana dia tak segan-segan memperkarakan sahabatnya sendiri karena kasus pengadaan Al Qur’an fiktif sewaktu ia menjadi Kepala Kejaksaan Tinggi di Sulawesi Tenggara. Atau bagaimana dia berhasil menjebloskan seorang pengusaha nakal kelas kakap ketika ia menjabat Menteri Hukum & HAM. Atau, yang menjadi favorit saya, kisah dimana dia dalam sebuah pertemuan formal dengan jajaran kepolisian –terkait penanganan para demonstran pra-reformasi– menghardik dan membentak seorang jenderal polisi karena tidak setuju dengan cara-cara represif menghadapi demonstran mahasiswa pada saat itu. Sungguh patut kita acungi jempol dan teladani sikap dan sifatnya yang jujur/amanah, tegas dan berani tersebut.
Ketiga, the last but not least, adalah mengenai kepedulian, perhatian, dan kasih sayangnya. Meskipun saya bukanlah cucu-langsungnya, namun pada satu saat, ketika ayah saya membawa saya berziarah ke rumahnya, saya dihadiahi sejumlah uang olehnya. Bukan main rasanya girang dan senang bukan kepalang. Nominal uang yang diberikannya kepada saya sebetulnya tidak terlalu banyak, namun untuk ukuran anak seusia saya waktu itu sungguh “lumayan besar” (meski seingat saya jumlahnya kurang atau paling banyak “hanya” 100 ribu rupiah). Alhasil, berbekal uang tersebut saya pun membuka rekening tabungan di bank dan lewat “uluran tangannya” saya pun memiliki tabungan pertama saya. Betapa bahagianya saya menerima kebaikan dan perhatian darinya itu.
Namun tak ada yang lebih membahagiakan dan membanggakan saya selain momen terakhir yang ingin saya bagikan disini. Di suatu malam, ketika waktu itu ia sedang berada di Makassar, dan kebetulan ayah saya, lagi-lagi, mengajak saja mengunjungi kediamannya, ternyata pada malam tersebut ia memiliki agenda tersendiri. Dia dijadwalkan untuk memberikan semacam kuliah umum (studium generale) pada civitas akademika IAIN (sekarang bernama UIN) Alauddin Makassar. Secara spontan ia pun mengajak ayah saya bersama saya ikut serta, sekaligus menemani kepergiannya dalam acara tersebut. Mobil sedan yang disediakan panitia pun sudah datang di depan rumahnya, diiringi beberapa mobil lain yang mengikuti. Sebetulnya ada beberapa “kursi kosong” di mobil lain tersebut yang tersedia untuk ayah saya dan saya tumpangi menuju lokasi acara. Namun, tak dinyana, ia malah memanggil ayah saya dan saya –tentunya– untuk duduk bersamanya di kursi belakang mobil sedan yang khusus menjemputnya. Dan disitulah saya, duduk diapit olehnya yang begitu berkharisma dan oleh ayah saya yang bijaksana. Ada perasaan deg-degan saat duduk bersandingan dengannya, seorang tokoh masyarakat, pejabat publik dan akademisi-praktisi yang juga agamawan tersebut. Tapi, sesungguhnya saya lebih harus merasa bangga bisa merasakan dan menikmati momen indah tersebut, meskipun hanya beberapa saat saja (yakni selama perjalanan dari rumahnya ke tempat acara).
Dan tibalah kami di tempat acara. Begitu banyak orang yang berkumpul di sana, menantikan kehadirannya yang sangat dirindukan. Dan akan halnya rindu (ataupun “cinta”), sesungguhnya hal itu tak dapat dibuat-buat dan direkayasa adanya. Dan “kerinduan” itulah yang saya saksikan dengan mata kepala saya sendiri terpancar dan memantul dari berbagai pasang mata yang memandang dirinya. Betapa besar rasa hormat mereka padanya, betapa tinggi wibawa dirinya di hadapan mereka. Dan disitulah, untuk kali pertama, saya mendengarkan dan menyaksikan “dianugerahkannya” sebuah gelar, sebutan, ataupun julukan baru kepadanya: Al Faruq. Al Faruq berarti “yang mampu membedakan (yang haq dan yang bathil, yang benar dan yang salah)”. Sebutan “Al Faruq” itu sesungguhnya merujuk pada Umar ibn Al-Khattab, pribadi yang dikenal berintegritas tinggi, sangat kredibel (dipercaya) dan begitu berani membela kebenaran. Al Faruq, sebuah julukan yang bukan main nilai dan maknanya, yang mencerminkan betapa mulianya dan dipercayainya orang yang menyandang gelar tersebut, juga menandaskan betapa berat dan sulitnya memenuhi maksud sebutan itu sendiri. Dan di antara titel akademis yang melekat pada lelaki yang telah dari dulu menjadi “pahlawan” –dalam arti sebenarnya– bagi saya tersebut, bertambah satu lagi “titel” nya, sehingga kita pun mengenalnya (atau, mengenangnya) dengan nama: Prof. DR. H. Baharuddin “Al Faruq” Lopa, SH.