Mohon tunggu...
Ahmad Ali Husain
Ahmad Ali Husain Mohon Tunggu... -

saya hanya sekedar menjadi peran kecil dalam sandiwara Tuhan sang Mahasutradara

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Jurnalis????

20 Maret 2011   01:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:38 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Siang itu langit terasa sangat terang benderang, biru sekali, hampir tanpa mendung, dan udaranya pun lumayan menggairahkan keringat ini untuk keluar mengucur mendinginkan kulit ari yang semakin terbakar. Saya sedang duduk di sebuah pojok pengakuan (balai rakyat, red), dengan sebatang rokok coklat 5 ribuan yang kubeli kemaren. Teman saya sedang berceloteh kesana kemari dan bersambut dengan ucapku yang kesitu kemana. Dialog yang janggal di kala semua orang lalu lalang dengan hiruk pikuknya entah mencari apa, dan kami hanya mengomentarinya dengan tawa...

Tiba-tiba, dua orang yang tidak saya kenali datang bergegas, dengan masing2 membawa kamera handycamp digital merk ternama. Mereka langsung menyapa beberapa teman yang ada di situ karena hampir semua orang yang ada di sekitar saya kelihatannya sangat saling mengenal satu sama lain, kacuali saya yang di pinggirkan entah dalam perasaan saya sendiri atau memang benar2 tidak diharapkan kehadiran kami di sini, ntahlah....

Beberapa saat kemudian, baru saya tahu kalau dua orang yang baru saja datang itu adalah wartawan yang akan mewawancarai ketua pelaksana acara yang juga saya ikuti ini, yaitu sebuah pameran foto daerah. Saya mengetahuinya dari apa yang mereka bicarakan dalam obrolan2 mereka.

Tanpa disengaja atau memang sudah terbiasa dengan itu salah satu dari mereka menceritakan kejadian beberapa saat sebelum dia datang ke tempat itu. Mengenai hasil liputannya tentang Terorisme di kota kecil itu. Saya terkejut sekecap, masak isu teror bom sampai ke daerah se kecil ini.

Belum selesai keterkejutan saya, sudah terjawab dengan sendirinya ketika cerita tersebut berlanjut. Saya Tercengang heran ketika dia bilang "tadi saya di jalan, ada operasi lantas byasa.... aku ambil gambar buat berita, kok kurang menarik. Lalu aku suruh saja polisi itu untuk menggeledah mobil box dan bis dengan alasan terorisme." begitu kelakarnya.

Alhasil, dia mendapatkan berita yang dia bikin sendiri itu dan siap untuk dikirim dengan berita razia terorisme di kab. x.......

Aku melongo, seakan semakin tak percaya... Mengapa jurnalisme sekian kejam dan beraninya melakukan penipuan terhadap para penikmat berita??? atau karena memang kebutuhan hiduplah yang telah mengubah segala sesuatu ketulusan.... Atau ratinglah yang sekarang Maha Kuasa dalam media massa...

Sembari mengingat beberapa kejadian yang saya alami beberapa tahun lalu, ketika saya menonton sandiwara demonstrasi korban lumpur lapindo yang disutradarai oleh beberapa orang jurnalis (2006). Ketika saya melihat pertunjukan majas hiperbola berita banjir di ibukota oleh sebuah stasiun TV nasional "banjir lebih dari 2 meter" yang ternyata hanya setinggi lutut.(2007) saya mengetahui dari kesalahan editing yang menghasilkan view jauh dari gambar berita tersebut. Atau tentang berita kematian teman saya yang terseret di laut selatan, sungguh saya seakan tak percaya ketika koran TV nasional hanya mengambil gambar dan membeli koran lokal untuk berita tanpa ada wawancara (2005).

Dan saya rasa sinetron berita itu tidak hanya akan berakhir sampai saat itu, atau saat ini, atau kapan pun.... dan kemudian saya bertanya pada diri saya sendiri, Jurnalis???

SaungSudra, 200311

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun