Gadis Bengawan Solo
Cerpen karya Ahmad Zaini*
Gemulung air bercampur lumpur menggerus harapanku dan harapan para warga yang tinggal di bantaran bengawan solo. Resah dan gelisah selalu menggulana dalam jiwa. Tak ada setitik pun kedamaian jiwa semenjak musim penghujan tiba. Secerah apa pun matahari di wajah pagi, menjelang siang atau sore sudah diliputi awan kelabu. Mendung berduyun-duyun menggulung warna biru langit. Langit pun berubah menjadi hitam kelam. Mendung menggantung air bah yang sebentar lagi akan mengguyur bumi lalu menambah debit air yang berada di kantong bengawan solo.
***
Tiga bulan yang lalu, aku baru pulang dari perantauan. Rona ijo royo-royo tanaman padi di sepanjang sawah menghampar, sangat mendamaikan hatiku. Paling tidak aku bersyukur karena orang tuaku yang berprofesi sebagai petani tulen pada musim panen nanti pasti bisa memenuhi lumbung padi yang tampak longgar. Kebahagiaan lain yang aku rasakan karena keberhasilan panen nanti juga akan berdampak pada kelangsungan rencanaku yang akan meresmikan hubunganku dengan Ratih, gadis desa tetangga.
Suasana pagi di bantaran bengawan solo begitu eksotis. Dari tanggul aku melihat hamparan pasir laksana peta nusantara dikelilingi perairan yang jernih dan menyejukkan. Berselimut kabut tipis, aku sangat terpesona melihat anugerah ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Ratih yang waktu itu menyusulku ke tanggul bengawan solo menambah romantisnya suasana pagi. Ia mengenakan kebaya jingga berpadu jarik bermotif batik. Sungguh anggun penampilan gadis lugu yang hidup di bantaran bengawan solo.
“Mas Rafi, kapan kembali ke perantauan?” tanya Ratih kepadaku.
“Aku agak lama di rumah, Dik. Aku akan membereskan hubungan kita dulu. Pertengah bulan ini paling tidak sudah ada kepastian hari pelaksanaan akad nikah kita,” jawabku.
Aku melihat wajah ratih berbinar-binar. Ia tampak senang mendengar jawabanku itu. Dia sangat berharap aku segera menyuntingnya lalu meresmikan dalam sebuah ijab qobul pernikahan.
Setelah lama kami duduk-duduk di tanggul bengawan solo menikmati suasana pagi, matahari mengintip kami dari balik pelepah daun pisang. Mentari tersenyum melihat kami yang begitu akur. Sang raja siang pun menuntun kami pulang ke rumah masing-masing. Aku berada di depan sedangkan Ratih mengikutiku di belakang.
***