Lorong Kenangan
Karya Ahmad Zaini
Hotel bintang dua. Bahkan mungkin tidak berlabel bintang sama sekali. Bayangkan, hotel tempat kumenginap ini tidak punya genset. Tidak punya energi listrik cadangan sebagai antisipasi jika listrik padam. Tidak ada shower. Mandi pakai gayung. Apalagi kamar ber-AC. Hotelku tidak ada fasilitas  mesin pengatur suhu itu. Bila udara gerah, kupakai selembar koran sebagai kipas. Kalau sudah terlalu parah gerahnya, jendela kubuka semua agar angin bisa masuk ke kamar. Meskipun malam hari.
Dari kamar hotel aku keluar mencari angin segar pagi hari. Kupakai sandal hotel putih tak berdaging. Aku menyusuri lorong hotel. Di kanan kiri kueja angka di setiap daun pintu kamar yang berjajar. Sesampai di ujung lorong tampak dua kursi tak berpenghuni. Kursi itu kosong meski terdapat meja kaca membujur di depannya.
Ada yang melintas dalam bayangku saat melihat dua kursi  yang kosong itu. Aku mengingat dirimu setahun yang lalu ketika kita berdua duduk di kursi yang berada di ujung lorong hotel. Kau bercerita tentang kegagalan keluargamu.
Saat itu aku tak berusaha bertanya kenapa keluargamu buyar. Namun, kau tetap bersemangat bercerita kepadaku tentang perilaku mantan suamimu yang suka semena-mena terhadapmu. Kau sering dipukul, disuruh tidur di luar kamar, bahkan kau pernah diturunkan di jalan tol saat terlibat percekcokan dalam mobil.
"Dia itu pecundang. Dia hanya menguras hartaku dan merenggut keperawananku. Setelah itu, rasa cinta dan kasih yang dulu digunakan untuk merayuku, lenyap begitu saja," ucapmu dengan wajah terbakar amarah.
Aku menghela napas panjang. Secangkir kopi yang menemani percakapan kusruput. Aroma wanginya sudah tak terasa setelah mendengar kisah pilumu. Langit-langit hotel serasa tak meneduhkan lagi. Lorong hotel menjadi panas karena terbakar oleh ceritamu itu.
Aku melihat sorot matamu masih ada api amarah menyala-nyala. Bulat matamu memercikkan bara kebencian pada mantan suamimu. Kata-katamu mengepulkan asap. Kepulannya menyesakkan dadamu. Kau menyandarkan punggungmu di kursi yang kini sudah kusam. Kau menghela napas panjang untuk mengatur pernapasanmu. Desah kekesalan keluar-masuk dari tenggorokanmu. Kau seakan ingin menumpahkan semua gumpalan cerita kelam kepadaku. Kau hendak merogoh hatiku agar iba kepadamu.
"Semoga pengalaman pahitmu itu tidak terulang di masa mendatang," kataku menimpali ceritamu.
Kau tertegun. Kau seperti kaget mendengar ucapanku. Kau sepertinya tak hanya ingin mendengar ucapan harapan dariku. Kau menghendaki aku mengucapkan sesuatu yang lebih dari itu. Buktinya bola matamu berputar kencang. Wajahmu mendongak ke langit-langit hotel. Kau mengarahkan pandanganmu pada lukisan bunga yang tergantung di dinding lorong.