Mohon tunggu...
AHMAD ZAENURI
AHMAD ZAENURI Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer

Alumni Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pengajar di IAIN Sultan Amai Gorontalo

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

NU dan Muhammadiyah: Dari Perbedaan Awal Ramadhan sampai Perbedaan Afiliasi Politik 2014

25 Juni 2014   16:44 Diperbarui: 18 Juni 2015   09:02 800
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Perbedaan itu adalah rahmat (Ikhtilaf ummati rahmah). Sabda Nabi tersebut tidak hanya diperdebatkan kesahihannya namun juga diperdebatkan redaksinya. Ada yang berpendapat bahwa redaksi hadits yang tepat yaitu, ikhtilaf al-a’immah rahmah li al-ummah (perbedan pendapat para imam adalah rahmat untuk ummat). Terlepas dari perdebatan ahli hadits, setidaknya Rasyid Ridha pernah menggunakan semangat hadist tersebut untuk penerbitan risalah Ibnu Taimiyyah, Khilaf al-Ummah fi al-Ibadat wa Mazhab Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah (perselisihan umat dalam ibadah dan mazhab Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah). (Madjid: 2007, 265).

Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah merupakan organisasi masyarakat Islam terbesar di Indonesia. Perannya tidak hanya dikenal dalam masalah sosial dan kemasyarakatan, namun juga dalam permasalahan politik ke-Indonesiaan. Walaupun disadari setelah runtuhnya kekuasaan Orde Lama, ormas-ormas Islam lebih banyak yang kembali ke hittah untuk mengurusi masalah sosial dan pendidikan, tetapi secara tidak langsung peran serta dalam masalah politik itu selalu ada dilihat dari peran yang dimainkan tokoh-tokoh kedua ormas tersebut.

Walaupun memiliki kesamaan dalam hal terlahir dari perut Indonesia, baik NU dan Muhammadiyah memiliki perbedaan yang cukup krusial khususnya terkait dengan awal dan akhir Ramadhan. Masing-masing ormas tetap bersikukuh pada pandangannya antara rukyat dan hisab. Bagi NU, rukyat adalah metode yang absah sebagaimana dipesankan Nabi lewat haditsnya, sumu liru’yatihi wa uftiruhu li ru’yatihi (berpuasalah kamu ketika melihat bulan dan berbukalah ketika melihatnya). Sebaliknya, bagi Muhammadiyah yang banyak terkontaminasi dengan pemikiran modern, lebih mengedepankan metodologi khusus yang lebih kredibel (hisab) sehingga tidak terjebak kepada permasalahan klasik─seperti ketergantungan alam dan sebagainya─dan dengan metode tersebut dapat terdeteksi awal Ramadhan baik satu, sepuluh, bahkan seratus tahun yang akan datang.

Akan halnya dalam masalah awal Ramadhan 1435 H/2014 M hampir dipastikan baik NU dan Muhammadiyah akan mengalami perbedaan. Muhammadiyah, berdasarkan hitungan hisabnya awal Ramadhan 1435 Hjatuh pada 28 Juni 2014. Sebaliknya, bagi warga Nahdliyyin, keputusan awal Ramadhan masih menunggu hasil sidang Istbat untuk menentukannya, meskipun kemungkinan terbesarnya hilal belum terlihat pada waktu itu yang membawa konsekuensi pelaksanaan puasa Ramadhan keesokan harinya.

Perbedaan Afiliasi Politik 2014

Hajatan akbar bagi bangsa Indonesia dan umat Islam khususnya, pada tahun ini tidak hanya pada pusa Ramadhan, melainkan juga pada pemilihan calon presiden dan wakil presiden. Pemilihan ini menjadi menarik karena tidak hanya ada dua pasangan calon yang akan bertanding meraih suara hati rakyat, melainkan adanya perbedaan afiliasi dukungan antara NU yang diwakili oleh PKB dan Muhammadiyahyang diwakili oleh PAN. Pada golongan pertama dimungkinkan akan mengarahkan dukungannya kepada Jokowi-JK, sebaliknya pada golongan kedua dimungkinkan akan mengarahkan dukungannya kepada Prabowo-Hatta. Walaupun demikian, kedua ormas dan lebih khusus NU menyerahkan sepenuhnya hak memilih kepada rakyat. Maka dari itu, tidak ada klaim dukungan secara tegas dari kedua ormas besar ini dalam mendukung salah satu capres. Hal ini tentu demi menjaga persatuan ummat agar tidak terbelah dalam klaim-klaim politik praktis.

Jika melihat sejarahnya, baik NU dan Muhammadiyah pernah bergabung memberikan dukungan politik melalui satu gerbong partai politik yaitu lewat Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Tokoh-tokoh besar yang terlahir dari organisasi tersebut di antaranya seperti Wahid Hasyim (NU), Wahab Chasbullah (NU), Ki Bagus Hadikusumo (Muhammadiyah) dan Mas Mansur (Muhammadiyah). Namun akhirnya kemesraan antar organisasi-organisasi Islam (Khususnya Parpol) ini lenyap sejak NU keluar dari Masyumi yang diikuti organisasi-organisasi kecil lain dan memicu kehancuran Masyumi.

Menurut Yudi Latif, ada dua hal yang menyebabkan kehancuran solidaritas di antara organisasi Islam politik, yaitu ideologi dan kepentingan. Secara ideologi, antara NU dan Muhammadiyah terdapat perbedaan yang cukup mendasar walaupun perbedaan itu hanyalah masalah furu’iyah (cabang) dan bukan hal yang esensi. Penjagaan tradisi yang baik oleh NU dan pembaharuan atau bahkan pemurnian oleh kalangan modernis seperti Muhammadiyah sering menyebabkan ketidakcocokan kedua ormas dimaksud. Sebaliknya, dalam masalah kepentingan, pembagian kekuasaan yang tidak adil kadang menjadi penyebab utama kerapuhan solidaritas ini. Sebut saja ketika berada dalam Masyumi NU hanya mendapatkan jatah Menteri Agama, sebaliknya organisasi-organisasi lain seperti Persis mendapatkan jatah lebih banyak. Padahal secara dukungan, NU merupakan penyumbang dukungan masyarakat yang lebih besar dari ormas-ormas yang ada. Bentuk-bentuk “ketidakadilan” seperti inilah yang menyebabkan antara organisasi Islam (khususnya Politik) menjadi terpecah belah.

Membaca Peta Politik 2014.

Keberpihakan PKB terhadap pasangan Jokowi-JK yang diikuti dukungan PAN terhadap Prabowo-Hatta secara tidak langsung menandakan sekat-sekat sentimen politik itu masih ada hingga saat ini. Hal ini dikuatkan juga dengan pernyataan Mahfud MD bahwa sekalipun Prabowo-Hatta menjadi Presiden dan Wakil Presiden nantinya, Menteri Agama tetap akan dari NU. Statmen-statmen tersebut menandakan bahwa perbedaan-perbedaan ideologis masih menjadi preferensi ormas atau bahkan masyarakat untuk menentukan dukungan politiknya.

Melihat kondisi di atas, dapat dikatakan bahwa klaim ideologis akan selalu dan tetap ada. Oleh sebab itu peran yang sebaiknya dimainkan oleh elit-elit ormas tersebut adalah mengimplementasikan bahwa perbedaan itu adalah rahmat. Perbedaan bukan menjadi sekat untuk saling menjatuhkan antara satu dan yang lainnya melainkan untuk menjadi sarana fastabiqul khairat berlomba-lomba dalam kebaikan. Saya yakin, bahwa setiap ormas Islam menginginkan yang terbaik buat bangsa Indonesia, hanya saja kemungkinan jalan-jalannya yang berbeda. Di sinilah kita menemukan common platrom (meminjam istilah Cak Nur), komitmen bersama menuju Indonesia bangkit, menuju Indonesia sejahtera, menuju Indonesia berdikari, dan menuju Indonesia yang lebih baik. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun