Mohon tunggu...
AHMAD ZAENURI
AHMAD ZAENURI Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer

Alumni Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pengajar di IAIN Sultan Amai Gorontalo

Selanjutnya

Tutup

Politik

Rohingnya dan Sekulerisme: Sebuah Alternatif

27 Mei 2015   14:52 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:32 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebuah tragedi pilu terjadi lagi di Rohingnya.Sekitar 130 ribu muslim Rohingya, atau sepuluh persen dari populasi mereka di Rakhine, terkatung-katung di laut. 677 dari mereka diselamatkan nelayan Aceh, setelah nyaris mati kelaparan dan sakit. Entah berapa ribu lagi dari mereka yang mati kelaparan di tengah laut, atau harus berjubal berebut makanan di dalam perahu.

Beberapa pengamat mengatakan, apa yang terjadi di Rohingnya tidak sebatas konflik agama––Budha dan Muslim––melainkan konflik kepentingan, seperti ekonomi dan kekuasaan. Apapun alasan yang disampaikan banyak pengamat, agama tetaplah menjadi salah satu alasan utama terjadinya konflik di Negeri Pagoda tersebut.

Ada kecendrungan, negara yang menjadikan Ideologi agama sebagai ideologi negara atau negara yang didominasi salah satu golongan agama saja akan menyebabkan diskriminasi bagi pemeluk agama selain ideologi negara. Itulah sebabnya menurut hemat penulis, sekulerisme menjadi sebuah tema yang agaknya bisa menjadi solusi bagi negara-negara tersebut.

Kajian tentang sekulerisme dalam discours studi-studi Islam menjadi sesuatu yang dianggap bertentangan dengan mainstrem agama. Banyak stereotip negatif terkait dengan term ini. Pendangkalan agama lah, pemisahan agama dengan negara, sistem toguht, atau bahkan dianggap sebagai ideologi pelemahan agama yang digulirkan oleh barat.

Kehawatiran itu tidaklah salah. Hanya saja kadang terlalu berlebihan. Sekulerisme dalam kondisi tertentu juga bisa menjadi solusi bagi tindakan semenang-menang dominasi mayoritas kepada pihak minoritas. Di India misalnya, karena agama mayoritas disana adalah hindu, maka ruang-ruang gerak umat Islam sangat dibatasi. Olehnya itu sangat terbalik dengan di Indonesia, jika di Indonesia dan beberapa negara mayoritas muslim lain sekulerisme menjadi hal yang harus diperangi, maka di India, kampus-kampus Islam justru menjadikan “Simbol Of Sekulerim” sebagai jargon kampusnya.

Mengapa hal tersebut dapat terjadi di India? Umat-umat Islam di India yang minoritas ingin mendapatkan hak yang sama dengan umat lain untuk melaksanakan agama sesuai dengan keyakinannya. Negara tidak bisa mencampuri urusan agama masing-masing individu karena itu adalah masalah privasi. Ketika negara mengurusi urusan agama umat muslim India, dengan menggunakan paramater agama yang berbeda tentu akan menghasilkan pandangan yang berbeda pula.

Kasus Rohingnya, sejatinya tidak jauh berbeda dengan India. Muslim Rohingnya juga ingin melaksanakan ajaran agama yang dianutnya tanpa ada intervensi apapun dari negara. Sekulerisme menjadi salah satu alternatif yang bisa menjadi solusi bagi muslim rohingnya. Tentu sekulerisme dalam bentuk yang berbeda dengan Ideologi Barat yang ingin mengeringkan negara dari nilai-nilai agama. Tapi sekularisme yang memberikan kebebasan kepada pemeluk agama untuk melaksanakan agama yang diyakininya tanpa ada intervensi dari sebuah negara. Negara adalah negara, sedangkan agama adalah agama. Keduanya adalah entitas yang berbeda. Jika hal ini dilakukan dilakukan di Rohingnya, maka tidak ada lagi hak mayoritas menekan minoritas, bahkan Negara sekalipun.

Membaca Indonesia

Solidaritas muslim Indonesia yang dicontohkan masyarakat Aceh menunjukan betapa kuatnya tali persaudaraan kemanusiaan itu. Persaudaraan kemanusiaan sebagai sesama penganut agama, terbukti berada di atas segalannya menjebol dinding-dinding negaraisme dan nasionalisme. Hal inilah mungkin yang identik dengan perkataan Mohandas K. Ghandi bahwa kebangsaan manusia itu bukanlah sebuah negara, melainkan kemanusiaan itu sendiri. Jadi dimanapun ada tindakan diskriminasi terhadap manusia adalah sebuah bentuk pelanggaran terhadap hak-hak kemanusiaan dan kebangsaan.

Rohingnya, secara batas geografis tentu berbeda dengan Indonesia. Namun bukankah penduduknya adalah manusia, sama sebagaimana kita di Indonesia? Kemerdekaan beragama adalah kemerdekaan tertinggi bagi setiap Individu. Dalam negara kita disebutkan pada Pasal 29 ayat 2 bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama. Hal ini menandakan, Indonesia, sekalipun mayoritas penduduknya adalah muslim akan tetapi negara tetap memberikan kebebasan kepada setiap pemeluk agama untuk melaksanakan ajaran agama sesuai yang dianutnya masing-masing”.

Hal yang sama seharusnya juga dilakukan oleh pemerintah Myanmar terhadap minoritas muslim di Rohingnya, jika ingin masalah ini segera kondusif. Tidak ada mayoritas dan minoritas karena sejatinya demokrasi tidak hanya berasal dari mayorokrasi tetapi juga minorokrasi. Tidak boleh ada etnis yang merasa berhak menduduki suatu wilayah dalam sebuah negara karena itu adalah hak politik setiap warga negara.

Dalam ranah agama, tidak boleh orang-orang Budha Myanmar mengukur kebenaran dan kesalahan agama umat muslim dari kacamata agama Budha. Begitu pula sebaliknya, muslim tidak boleh menggunakan paramater kebenaran dan kesalahan agama Budha dalam kacamata Muslim. Tentu hal ini tidak akan menemukan titik temu. Hugh Goddard dari Nottingham University Inggris, menyebut hal ini sebagai double standard (standar ganda) yang tidak akan menemukan titik temu. Jika menginginkan kedamaian maka carilah kesamaan bukan memperbesar perbedaan.

Akhirnya, marilah disimak kembali perkataan orang pijak yang sempat dikutip juga oleh Hamid Awaludin “Hanyalah damai, bukan konflik dan kekerasan yang bisa berbicara tentang eloknya masa depan”. Kedamaian itulah yang diharapkan oleh muslim Rohingnya saat ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun