Mohon tunggu...
AHMAD ZAENURI
AHMAD ZAENURI Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer

Alumni Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pengajar di IAIN Sultan Amai Gorontalo

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik Praktis Akademisi

21 Juni 2014   18:09 Diperbarui: 20 Juni 2015   02:54 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemilihan umum untuk memilih presiden 9 Juli 2014 mendatang kian hari kian panas. Hal ini tidak hanya disebabkan karena hanya ada dua pasangan calon yang akan berkompetisi, melainkan juga banyaknya akademisi yang secara tiba-tiba menjadi juru kampanye kedua pasangan tersebut. Tidak ada yang salah sebenarnya dalam perilaku tersebut. Dalam sebuah negara demokrasi setiap individu memiliki hak yang sama untuk memilih dan dipilih. Hanya saja sangat disayangkan, seorang akademisi yang diharapkan dapat memberikan analisis kritis dan berimbang, kini telah terkotak-kotak membela kepentingan golongan.

Tidak ada yang mengetahui secara pasti alasan apa yang melatarbelakangi para akademisi menjadi jurkam para kandidat selain diri mereka sendiri dan Tuhan Yang Maha Kuasa. Yang pasti, semua kalangan berharap bahwa semakin banyaknya akademisi dalam dunia politik praktis akan memberikan pendidikan politik yang semakin cerdas dan bukan sebaliknya, membuat kegaduhan dengan mencari-cari legitimasi untuk membenarkan yang salah atau menyalahkan yang benar.

Posisi akademisi dalam sebuah partai atau dukungan politik itu sangat penting. Mereka tidak hanya berfungsi sebagai tim ahli dan perumus program-program yang dianggap relevan dengan menggunakan hasil riset tetapi juga untuk menangkis semua serangan-serangan negatif (black campaign atau negative campaign) yang dituduhkan kepada pasangan yang didukungnya. Pada saat seperti inilah sejatinya para akademisi diuji idealitasnya antara membela kebenaran atau membela kepentingan.

Membaca Peta Politik 2014

Saat ini setidaknya ada dua kubu akademisi yang bertarung pada arena politik. Kubu Mahfud MD yang mendukung pasangan Prabowo-Hatta dan kubu Anis Baswedan yang mendukung pasangan Jokowi-JK. Nama-nama tersebut hanyalah aktor utamanya, dibalik itu semua masih ada tokoh-tokoh besar yang menjadi tim ahli atau lain sebagainya. Sebut saja Marwah Daud Ibrahim dan Said Agil Siroj dibelakang Mahfud serta Siti Musdah Mulia dan Eep Saifullah Fatah dibelakang Anis Baswedan.

Semua nama-nama di atas adalah orang-orang yang berpendidikan tinggi. Minimal strata pendidikannya S3 (Doktor) bahkan lebih banyak yang sudah Profesor. Dengan melihat kapasitas intelektual yang dimiliki, tentu tidak diragukan lagi. Akan tetapi, benarkah kapasitas intelektual semata akan menjamin seseorang bersikap obyektif atau dapat juga terjebak dalam pragmatisme?

Ada sebuah syair yang jika penulis tidak salah itu adalah perkataan dari Imam Syafi’i. “Jika kita telah mencintai seseorang maka yang terlihat adalah keindahannya, dan jika kita membenci seseorang maka yang terlihat adalah keburukannya”. Syair ini ternyata mendapat dukungan dalam dunia akademis misalnya, ketika seseorang melakukan sebuah penelitian maka diharapkan tidak hanya melakukan analisis terhadap sumber-sumber primer yang mendukung tetapi juga yang kontra. Hal ini untuk menghindarkan bias dan subjektifitas. Sebab yang namanya manusia akan selalu melebihkan hal yang dicintai dan menjatuhkan yang dibenci.

Secercah Harapan

Dalam tradisi sejarah Islam, pernah dalam satu masa ke-khalifahan dipimpin oleh seseorang yang menjadi “penggila” ilmu Barat dan Filsafat. Beliau tidak lain adalah Khalifah al-Makmun dari dinasti Abbasiyah yang berpaham liberal (Mu’tazilah). Untuk mendapatkan legitimasi dari ulama-ulama, al-Makmun bersedia memberikan upah yang besar dan posisi karir politik yang tinggi asalkan mau menjadi mitra pemerintah dalam hal mendorong kemajuan rasionalitas.

Dibalik itu semua, ada seorang tokoh intelektual yang sama sekali tidak tertarik dengan tawaran al-Makmun. Bahkan ia justru menyerang al-Makmun dengan dalil-dalil agama atas penempatan posisi rasionalitas yang dianggap diluar batas. Imam Ahmad Bin Hanbal begitu biasa beliau dikenal. Seorang pendiri Mazhab Hambali yang sangat komitmen dengan riwayat-riwayat kenabian. Atas sikapnya yang kontra dengan pemerintah, Ahmad bin Hanbal sempat dipenjara dalam tiga masa periode ke-khalifahan.

Dengan melihat sepenggal kisah di atas, mungkinkah di negeri tercinta ini ada tokoh-tokoh akademisi yang memang memiliki komitmen dengan idealitas tanpa harus terjebak dalam kepentingan kelompok dan golongan? Mungkinkah lahir tokoh yang memilih dipenjara dengan mempertahankan kebenaran yang diyakini daripada mendapatkan jabatan politik yang tinggi?

Soekarno, Hatta, Natsir, Agus Salim dan para Founding Father kita telah membuktikan komitment tersebut. Kapan giliran anda dan kita semua. Wasalam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun