Mohon tunggu...
AHMAD ZAENURI
AHMAD ZAENURI Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer

Alumni Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pengajar di IAIN Sultan Amai Gorontalo

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pesantren dan Kekerasan Pendidikan

26 Desember 2014   16:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:25 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Salah satu berita yang sempat menjadi highlight media massa beberapa hari lalu adalah kekerasan pendidikan yang terjadi di salah satu pesantren di Jombang Jawa Timur. Dalam pemberitaan itu disebutkan, pesantren Al-Urwatul Wustqo Jombang Jawa Timur melakukan “kekerasan pendidikan” terhadap santrinya dengan mengikat kedua tangan para santri pada sebuah batang pohon dan kemudian seseorang yang lain bertugas mencabukinya. Bagi pihak pesantren, hukuman seperti itu dianggap sebagai tradisi yang memang sudah diterapkan sejak dulu dan dilakukan demi meningkatkan kedisiplinan para santri.

Bukanlah rahasia umum lagi bahwa pesantren selalu diidentikkan dengan pendidikan kedisiplinan yang begitu ketat bahkan sampai menjurus kepada kekerasan pendidikan. Dalam novel-novel yang diangkat dari pengalaman pribadi yang mengisahkan kehidupan pesantren seperti “Negeri Lima Menara”, bentuk mekekerasan itu begitu terasa dalam sistem pendidikan pesantren. Apakah memang benar bahwa kedisiplinan selalu diidentikkan dengan kekerasan? Bagaimana kira-kira keluaran (output) pendidikan jika anak-anak dididik dengan kekerasan? Apakah terdapat dalil agama yang mendorong perbuatan tersebut sehingga pesantren seakan mendapat legitimasi melakukan tindakan kekerasan?

Tindakan kekerasan atas nama apapun terhadap anak didik tidaklah dibenarkan. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa anak didik adalah pebelajar yang mungkin saja bisa salah. Kesalahan tersebut dapat terjadi karena kenakalan, pengaruh lingkungan, atau pergaulan yang tidak baik. Melakukan tindakan kekerasan sebagai tindakan preventif atau memberikan efek jera terhadap kenakalan anak didik tidaklah tepat. Bisa jadi dengan kekerasan justru menyebabkan pemberontakan terhadap jiwa anak didik atau menjadikan mereka melakukan hal yang sama terhadap generasi berikutnya. Mungkin saja dengan kekerasan kedisiplinan itu dapat diterapkan, namun hanya saat itu dan ditempat itu. Setelah keluar dari tempat pendidikan dimaksud mereka seperti merasa terbebas dari penjara dan dapat melakukan perbuatan tidak baik semauanya.

Langkah terbaik yang hendaknya dilakukan terhadap anak didik yang bermasalah dalam dunia pendidikan adalah penyadaran. Penyadaran dapat dilakukan dengan memberikan pengetahuan tentang nilai-nilai dan norma yang baik. Penghargaan (reward)dan(punishmant)memang tetap harus dilakukan sepanjang tidak melakukan kekerasan. Hukuman dapat berupa hukuman yang mendidik, bukan sebaliknya dengan hukuman tersebut malah dapat menyebabkan masalah baru buat diri siswa. Seperti dengan hukuman kekerasan dapat mempengeruhi dampak psykologis anak didik yang tidak baik. Anak didik bisa menjadi minder atau merasa terhina dengan hukuman tersebut.

Sejatinya, bukanlah berat dan tidaknya sebuah hukuman yang dapat memberikan efek jera terhadap anak didik. Tetapi lebih kepada dampak psykologis yang dapat menyebabkan timbulnya sikap kesadaran terhadap diri mereka. Bagi anak didik yang memiliki sikap kesadaran tinggi teguran secara lisan saja dapat menjadikan mereka sadar akan perbuatannya yang salah. Sebaliknya bagi anak didik yang memiliki kesadaran rendah, membutuhkan lebih dari teguran lisan. Hukuman tersebut bisa berupa peringatan atau yang lebih berat dari itu seperti ancaman scorssing bahkan diberhentikan tanpa harus melakukan kekerasan.

Pesantren dan Sistem Pendidikannya

Tidak ada yang membantah bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Inteletual Muslim Indonesia, Nurcholish Madjid menyebutnya sebagai lembaga pendidikan yang indogeneus atau murni terlahir dari rahim Indonesia. Lebih lanjut menurut Cak Nur (begitu beliau disapa), seandainya tidak ada penjajahan di Indonesia, tentu lembaga pendidikan pesantrenlah yang akan menjadi lembaga pendidikan tinggi. Hal ini selayaknya universitas-universitas di Amerika seperti Harvard yang pada awalnya lembaga pendidikan agama yang didirikan oleh Pendeta John Harvard.

Karena merupakan lembaga pendidikan Islam, pesantren tentu menjadikan Islam sebagai way of life (penuntun jalan) dalam dasar pendidikannya. Sama halnya dengan tindakan kekerasan yang dilakukan, tidak jarang didasarkan pada sebuah hadist nabi bahwa ketika seorang anak memasuki umur sepuluh tahun dan tidak melaksanakan sholatdalam makna lebih luas tidak mematuhi perintah agamamaka pukullah mereka. Isyarat nabi tersebut seakan menjadi legitimasi bahwa tindakan kekerasan itu dibolehkan.

Benarkah tindakan kekerasan itu dibolehkan? Menurut sebagian kalangan yang memahami perintah agama secara tekstual mungkin dianggap boleh. Namun menurut hemat penulis, sebagaimana juga ulasan pakar-pakar pendidikan dan parenting, tindakan kekerasan dan pemukulan bukanlah sikap yang terbaik dalam menyelesaikan kenakalan anak didik. Bukankah dalam teks agama Islam (al-Qur’an) juga diperintahkan untuk mengajak manusiaapakah dia termasuk anak didik dan sebagainyadengan cara yang terbaik (bil hikmah wa al-mauidzat al-hasanat). Jika dengan cara yang lebih terdidik mereka bisa sadar, mengapa harus menggunakan kekerasan yang dapat merusakkan fisik dan psykologisnya?

Metode pendidikan selalu berbanding lurus dengan keluaran (output) pendidikan yang dihasilkannya. Sebuah kaidah pepatah Arab mengatakan “Al-Maddah Muhimmun, At-Thari>qah Ahammu Minal Maddah, Lubbul Mudarrisu Ahammu ‘Ala Syai’” artinya, materi dalam pendidikan itu penting akan tetapi metode pendidikan jauh lebih penting dan diantara yang penting itu, hati seorang guru jauh lebih penting dari segalanya. Seorang anak yang dididik dengan kekerasan maka hampir dapat dipastikan output yang dihasilkan pun akan menjadi seorang yang berjiwa keras. Sebaliknya, seorang anak yang dididik dengan kelembutan maka ia akan terlahir sebagai seorang yang berjiwa lemah lembut.

Rasanya cukuplah sudah lembaga pendidikan di Indonesia mengandalkan kekerasan sebagai metode pendidikannya. Sudah saatnya pendidikan kita menganggap peserta didik sebagai subyek yang belajar, bukan obyek yang kemudian harus diisi dan ditempa sesukanya. Peserta didik sejatinya adalah manusia seperti kita yang punya jiwa dan perasaan, yang bisa salah dan bisa juga benar. Tugas seorang guru ataupun ustadz/ustadzah adalah mengantarkan mereka menuju kepribadian utama. Mengubah potensi buruk menjadi potensi baik dengan tetap menghargai mereka sebagai manusia. Islam menyebut perhargaan tersebut sebagai ­al-Karomah al-Insaniyyah (human dignity), penghargaan yang mulia kepada setiap jiwa manusia. Dengan demikian, maka kekerasan dalam lembaga pendidikan Islam mestinya dihilangkan. Wallahu’alam bishowab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun