Mohon tunggu...
AHMAD ZAENURI
AHMAD ZAENURI Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer

Alumni Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pengajar di IAIN Sultan Amai Gorontalo

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Gorontalo Butuh Regulasi Kos-Kosan

17 Februari 2015   04:45 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:04 468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ilustrasi Pengrebekan/Kompasiana(kompas.com)

Ketika membaca harian Gorontalo Post Edisi Jumat, 16 Januari 2015 pada kolom “Kos-kosan Jadi Sarang Maksiat” muncul seketika kegelisahan akademik penulis untuk menuliskan unek-unek dalam sebuah literasi singkat ini. Fenomena kos-kosan memang menjadi masalah yang acap kali meresahkan masyarakat. Tidak hanya sikap dan perilaku penghuni kos yang kadang “kurang” bisa beradabtasi dengan kebiasaan masyarakat setempat, tetapi juga masuk dalam masalah moral seperti kos sebagai tempat mesum, minum-minuman keras dan kegiatan sejenis lainnya.

Sungguh miris bukan? kos-kosan yang selalu identik dengan tempat tinggal mahasiswa−yang sering disebut sebagai insan intelektual−justru digunakan sebagai “markas” perbuatan yang tidak baik. Apa kiranya yang salah dengan regulasi kos-kosan kita di Gorontalo? Apa pula yang menyebabkan insan intelektual muda banyak terjerumus ke dalam degradasi moral yang akut seperti itu?

Sekedar ingin membandingkan dengan daerah yang pernah mengalami masalah yang sama yaitu Yogyakarta. Semoga kiranya dapat diambil pelajaran yang dapat dicermati bersama. Yogyakarta adalah kota pelajar dengan lebih dari 114 kampus yang ada di dalamnya. Masalah kos-kosan merupakan salah satu tema yang banyak dicermati oleh publik. Bahkan, dalam sebuah buku yang sangat terkenal yang ditulis oleh Iip Wijayanto pada tahun 2003, “Seks In The Costdikatakan bahwa lebih dari 97 % mahasiswa Yogya sudah tidak virgin. Termasuk salah satu tempat paling aman melakukan perbuatan hina tersebut adalah kos-kosan.

Mencermati fenomena sosial yang agaknya sudah menggurita di masyarakat, pemerintah Yogya membentuk regulasi bahwa setiap kos-kosan yang ada di Yogya harus memiliki ruang tamu. Dengan memiliki ruang terbuka atau singgah untuk tamu diharapkan setiap tamu yang datang tidak langsung masuk di kamar melainkan ditempat yang telah disediakan. Hal demikian setidaknya dapat meminimalisir perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak diharapkan.

Selain mewajibkan kos-kosan harus memiliki ruang tamu, pemerintahkan setempat juga mengharuskan agar kos-kosan tidak bisa menyatu antara laki-laki dan perempuan. Hal ini demi menjaga interaksi di antara dua lawan jenis yang dapat menimbulkan terjadinya perbuatan mesum. Pemerintah Jogya sangat menyadari bahwa awal dari setiap kejadian perbuatan mesum adalah interaksi dua lawan jenis yang berlebihan seperti interaksi di kos-kosan sampai larut malam dan sebagainya.

Sekedar menguatkan asumsi di atas, patut kirannya diingat kembali perkataan dari Bang Napi bahwa “Kejahatan terjadi bukan karena ada niat dan pelakunya, tetapi karena ada kesempatan”. Bagi sebagian orang, kata tersebut mungkin dianggap sesuatu yang klise atau hanya guyonan belaka.Namun menurut hemat penulis, pesan moral yang ada di dalamnya tetap berlaku hingga kapanpun. Awal setiap tindakan jahat bukan hanya karena seseorang sudah berniat tetapi bisa saja karena ada kesempatan yang memungkinkan perbuatan jahat tersebut dapat terjadi. Oleh sebab itu mencegah atau mengurangi ruang gerak kesempatan berbuat jahat adalah langkah terbaik yang dilakukan dalam rangka meminimalisir tindakan amoral dan kriminal.

Dalam sebuah teori sistem dikatakan bahwa regulasi/norma/hukum adalah faktor utama yang menentukan baik dan tidaknya manusia. Manusia yang tidak baik jika dimasukkan dalam sebuah sistem yang baik maka hampir dapat dipastikan ia akan menjadi baik. Sebaliknya, sekalipun manusia tersebut baik secara personal, saleh secara individual, tetapi ketika ia ditempatkan dalam sebuah sistem atau lingkungan yang tidak baik, maka ia pun akan menjadi tidak baik. Konsep demikian inilah yang kemudian seperti mendapatkan legitimasinya sebagaimana yang dikemukakan oleh Bordiew sebagai “habitus”. Menurut Bordiew, kondisi sosial yang sering dilakukan, lama kelamaan akan membentuk identitas social individu yang ada di dalamnya.

Fenomena yang sama juga mudah ditemui di masyarakat. Jika norma atau tatanan aturan yang berlaku dalam masyarakat menganggap fenomena kos-kosan dan interaksi lawan jenis yang berlebihan adalah hal yang biasa maka ini akan membentuk identitas dalam diri anak muda menganggap hal tersebut biasa juga. Akhirnya, hal demikianlah yang menyebabkan banyak terjadinya perilaku seks bebas dan titik kulminasinya semakin maraknya Married by Axcident (MBA), atau menikah karena sebab tertentu, bisa karena hamil dan lainnya.

Kembali ke Pribadi Masing-masing

Sebaik dan sebagus apapun sebuah sistem tentu kembali kepada pelaksana atau pelakudari manusia yang diatur oleh sistem tersebut. Usaha pemerintah dalam rangka membentuk regulasi demi tertatanya kos-kosan di Gorontalo adalah sesuatu yang niscaya. Akan tetapi, membentuk manusia dan insan intelektual muda yang memiliki mental dan etika sosial yang baik jauh lebih penting dari segalanya.

Contoh sederhananya, hampir beberapa kali pemerintah Kota Gorontalo melakukan razia kos-kosan demi mencegah menjamurnya penyakit masyarakat di bumi serambi Madinah ini. Akan tetapi, sejauh mana tindakan tersebut memberikan efek jera kepada pelaku? Atau sebaliknya, jika yang dirazia adalah kos-kosan, maka tindakan tersebut juga bisa terjadi diperumahan-perumahan yang disewa sebagian besar mahasiswa karena dianggap akan lebih bebas dan terjamin keamannnya.

Membentengi akhlak generasi muda−khususnya mahasiswa−dengan nilai agama dan etika sosial yang baik adalah hal yang harus dilakukan jika ingin menggapai mencapai Gorontalo kedepan yang lebih baik. Tugas tersebut tidak hanya menjadi tanggung jawab lembaga pendidikan−baik sekolah maupun perguruan tinggi−melainkan juga orang tua dan masyarakat. Meminjam teori dari Ki Hajar Dewantara bahwa tanggung jawab mendidik/membentuk generasi yang lebih baik adalah tanggung jawab bersama yang sering disebut sebagai Tri Pusat atau Tri Sentra Pendidikan yang terdiri dari lembaga pendidikan, orang tua dan masyarakat.

Akhirnya, regulasi yang ketat dan tepat tetap harus dilakukan. Sekalipun tidak dapat memberantas seluruhnya, setidaknya langkah tersebut dapat meminimalisir terjadinya perbuatan mesum dan tercela. Tiadalah artinya selama ini selalu di dengung-dengungkan “ Adat Bersendikan Syara’ dan Syarat Bersendikan Kitabullah” jika justru dalam masalah moral kita mengalami kemerosotan. Membangun tatanan kehidupan melaui perbaikan aklak dan etika social yang baik adalah salah satu langkah menuju peradaban bangsa yang gemilang. Wallahu Ta’ala A’lam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun