Awalnya, berita tentang vonis bebas wali kota non aktiv kota bekasi di pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) bandung, jawa barat (11/10), tidak mengejutkan saya. Kasus suap anggota DPRD Rp 1,6 miliar, penyalahgunaan uang makan minum Rp 639 juta, suap Piala Adipura 2010 Rp 500 juta, dan suap BPK Rp 400 juta yang menjadi dakwaan kepada Mochtar Muhammad dengan tuntutan 12 tahun penjara dan denda Rp 300 juta, namun diputuskan bebas oleh majelis hakim adalah keputusan sah-sah saja.
Dari kaca mata hukum normative, putusan majelis hakim berasaskan ketentuan perundangan-undangan yang universal harus dianggap benar, kecuali melakukan upaya hukum tertentu (banding/kasasi/PK). Selain itu, proses putusan majelis hakim telah melewati proses peradilan yang menghadirkan alat bukti dan saksi-saksi. Bisa jadi, putusan bebas oleh majelis hakim disebabkan juga oleh lemahnya dakwaan Jaksa Penuntut Umum.
Lemahnya dakwaan dapat terlihat dari kasus penetapan “tersangka” Ketua KPU Abdul Hafidz Anshary. Klarifikasi salah ketik oleh penyidik Mabes Polri seakan-akan menunjukkan bahwa pola kerja dilakukan dengan copy paste. sedangkan pihak kejagung bersikeras bahwa Abdul Hafidz Ansyari tercatat sebagai tersangka dalam register SPDP. Padahal, alur kerja dalam menangani kasus oleh kedua institusi ini saling melengkapi satu sama lain.
Proporsional
Apakah seorang terdakwa dalam kasus korupsi harus divonis bersalah?. Itulah pertanyaan yang patut dikedepankan kepada kita. Banyak yang menganggap bahwa terdakwa kasus korupsi tidak boleh diberikan vonis bebas. Pandangan ini tanpa serta merta mengingat bahwa proses peradilan memiliki kelengkapan alat untuk membuktikan bersalah tidaknya si terdakwa. Di sini ada ruang asas praduga tak bersalah berlaku.
Sehingga jika berpijak kepada asas keadilan, maka sangat sah-sah saja jika terdakwa kasus korupsi tidak serta merta harus divonis bersalah. Usaha-usaha untuk membuktikan bersalah tidaknya seorang terdakwa sangat tergantung dari maksimal tidaknya penuntut umum memanfaatkan kelengkapan proses peradilan. Sehingga sangat tidak elegan jika hanya majelis hakim yang menjadi sorotan jika vonis bebas terdakwa korupsi yang ditetapkan.
Pilihan Radikal atau Mati?
Berita yang menampilkan bahwa salah satu anggota majelis hakim yang menangani kasus wali kota bekasi non aktif, Mochtar Muhammad pernah terjerat kasus korupsi. Pak hakim tersebut pada juni 2005 divonis 2 tahun penjara dan denda Rp 100 juta oleh pengadilan Negeri Riau dalam kasus korupsi dana overhead PT Bumi Siak Pusako. Kemudian pada Februari 2010 lulus seleksi hakim ad hoc untuk pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung. Inilah yang mengejutkan saya.
Seorang yang pernah divonis koruptor menjadi hakim untuk menangani kasus korupsi. Barang kali jika si koruptor menjadi ketua umum PSSI nantinya masih dianggap wajar. Namun sekali lagi, si koruptor mengadili secara de facto dan de jure seorang terdakwa kasus korupsi. Sangat tidak masuk akal di tengah-tengah upaya pemberantasan korupsi.
Inilah yang bisa disebut sebagai perilaku liar dalam konsep chaos ala Edwin Lorenz. Di mana trend yang berkembang adalah keyakinan bahwa sebuah sistem dapat "berperilaku" sangat liar, namun suatu saat akhirnya sistem akan kembali pada kondisi kesetimbangan. Ditengah-tengah upaya keteraturan yang dibangun di era demokrasi seperti ini lebih memungkinkan terjadinya sifat keliaran tersebut. Inilah yang biasa kita sebut sebagai demokrasi kebablasan.
Perilaku liar tersebut serta merta memasuki ruang formal dalam lembaga yang ada. Perilaku negative dari pemikiran liar menghasilkan sebuah aturan formal yang dianggap sah. Hal ini juga cukup tergambar dari aturan main (Undang-undang) dalam Negara Indonesia. Seorang yang pernah dipidana masih diberikan ruang untuk menduduki sebuah jabatan; mulai dari pencalonan legislative, jabatan organisasi tertentu hingga kepada jabatan public (kepala daerah) dan ternyata masih bisa menjadi peng-hakim.
Bisa jadi kebablasan ini sejalan dengan sistem chaotic yang juga mempunyai properti khusus, yaitu bergantung secara sensitif terhadap kondisi awal. Kesalahan yang kecil dalam waktu singkat akan tersebar di seluruh sistem. Maka, jika didasari bahwa gerak laju Negara ini berdasarkan hokum. Seharusnya jika keputusan hakim dianggap sebagai kesalahan fatal sangat tidak elegan dan relevan.
Memang benar bahwa segalanya telah terbuka setelah era reformasi. Dan keterbukaan sebenarnya sesuatu yang baik. Asal saja kita kita siap menerima hentakan-hentakan yang tidak terduga-duga dalam gelombang dan dinamika system yang kita anut saat ini. Namun jika kita belum siap sedia menempuh arena keliaran ini, maka harus ada upaya radikal untuk menutup ruang kepada sebagian orang yang “mengganggu” system.
Sebut saja menutup ruang gerak para terpidana dalam system formal Negara kita. Salah satu contohnya adalah larangan untuk para mantan terpidana menduduki posisi di segala lini. Daripada memakai hitungan hukuman mati, khususnya terpidana koruptor. Karena sanksi social dari masyarakat pun sama sekali minim. Hal ini bisa dipahami bila menilik sebagian besar masyarakat masih lemah untuk melihat segala sesuatu secara proporsional. Para terpidana sangat mudah untuk “mulia” di masyarakat hanya dengan sering “menyumbang”.
Sebelum kita memiliki masyarakat ideal dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara ini. Pilihan radikal untuk menutup akses kehidupan para mantan terpidana bisa menjadi pilihan yang ideal. Alasan HAM bagi mereka sudah patut untuk dikesampingkan. Radikal memang, namun jika tidak, maka hukum sudah mati di negeri ini.
*Penulis adalah
Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H