Jauh-jauh hari, kami memang telah menyepakati untuk mengadakan trip ke lokasi itu. Kendaraan roda empat dengan bepenumpang 7 orang start jam 13.00 WIB. Sabtu, 11 Oktober 2014 itu seharusnya sedari pagi kami sudah memulai perjalanan. Karena masih ada pekerjaan yang harus dituntaskan, dengan terpaksa kami ulur keberangkatan hingga siang. Uding, Soleh, Boris, Bo’ah, Gemor, Boydikin dan Egy sudah siap semua.
Perjalanan kurang lebih 8 jam kami tempuh hingga lokasi. Melewati jalan berliku dan memasuki hutan belantara serta jalan berbatu. Lintas hutan dimalam hari, memang sesuatu yang beda. Sesekali kami berpapasan dengan warga sekitar. Namun, untuk satwa yang berada dihutan itu, kami hanya menemukan sejenis tringgiling yang sedang melintas ditengah jalan. Kami sempat berhenti sesaat menikmati satwa itu. Harapan kami untuk bisa melihat Owa Jawa tak tersampaikan. Karena menurut informasi yang kami dapat, keberadaan Owa Jawa (Hylobates moloch) dan Macan Tutul (Panthera pardus) di hutan itu sudah langka keberadaannya.
Menjelang maghrib, kami tiba di Balai Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) untuk melakukan registrasi. Numun, karena waktu kami datang sudah terlalu sore, para petugas di balai tersebut sudah pulang. Dan otomatis loket pendaftaran pun tutup. Hanya ada seorang karyawan yang mengarahkan kami untuk mendaftar di pos jaga Research Station. Sesampainya di Citalahab, waktu menunjukan jam 20:40 WIB. Kami langsung disambut oleh Kang Suryana (43thn) selaku koordinator wilayah yang memang sebelumnya kami sudah saling komunikasi.
Adalah sebuah kampung kecil dengan berpenduduk 20 Kepala Keluarga yang terletak antara kebun teh Malasari dan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Secara administratif, kampung Citalahab Sentra Desa Malasari Kecamatan Nanggung ini masih termasuk wilayah Bogor. Namun lokasinya sangat dekat dengan wilayah Sukabumi. Dan keseharian mayoritas penduduk setempat adalah sebagai petani teh.
Kang Suryana langsung membawa kami ke sebuah rumah salah seorang penduduk untuk istirahat menempati rumahnya. Kang Ade (33thn), adalah si pemilik home stay yang tinggal bersama istri dan seoang anak laki-laki berusia 6 tahun. Ketika mengetahui kehadiran kami, Kang Ade beserta istri setianya segera menyiapkan tempat istirahat. Dengan 3 kamar tidur, kami menyewanya dengan harga Rp. 75.000,- perkamar permalam.
Selesai berbenah diri, santap malam mie telor yang kami bawa sudah dihidangkan Kang Ade. Suasana dingin pun mulai menyelimuti. Setelah santap malam selesai, singkong rebus dan teh hangat sudah siap menemani kami berkumpul menikmati suasana malam di sebuah saung kecil depan rumah. Selesai itu, kamipun bergegas untuk beristirahat untuk menyiapkan kegiatan besok.
Jam 12 siang, kami sampai di home stay. Sekedar melepas lelah dan bersalin pakaian, 15 menit kemudian kamipun melanjutkan kegiatan mengunjungi Canopy trail yang menjadi sebuah icon di Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak ini. Canopy trail adalah sebuah jembatan diantara pepohonan besar dibawah kaki Gunung Halimun Salak yang terbuat dari kawat seling dibalut tambang besar dan susunan potongan papan papan tebal sebagai alasnya.
Canopy trail yang memiliki ketinggian 30 meter dan panjang jembatan 100 meter ini dibuat oleh orang Jepang yang datang ke Indonesia dalam rangka kerjasama untuk penelitian satwa dan pohon di hutan itu pada tahun 1998 yang diresmikan oleh Menteri Kehutanan dan Perkebunan DR. Ir. Muslimin Nasution. Bagi pengunjung yang memiliki Fobia (hyperphobia) atau takut dengan ketinggian, cukup melihat saja dari bawah. Seperti dua kawan saya itu, Gemor dan Boydikin yang baru saja menaiki tangga 15 meter, mereka turun kembali dan memilih menunggu kami di pos jaga.
Hanya 1 jam kami dihutan itu. Karena memang hanya Canopy trail saja yang bisa dinikmati di Taman Gunung Halimun itu.