Jarak dari tempatku mondok dulu di Madinah dengan Masjid Nabawi hanya tiga kilo. Setiap kali pergi Jum'atan kami suka rombongan jalan kaki. Atau kadang naik kendaraan umum dengan membayar lima riyal.
Jika beruntung, kami dapat supir yang mengantar tanpa mau dibayar. Dia malah minta doa karena tahu kami para santri. Ini culture shock pertamaku selama tinggal di kota Nabi. Karena aku tak pernah mengalami hal serupa waktu mondok di Bogor dan Jombang. Di Indonesia santri masih dianggap sebagai warga kelas dua.
Pulang Jum'atan aku melihat dua pria Arab yang mau berkelahi! Seandainya di Indonesia, warga akan melerai dengan cara fisik yang kadang butuh effort luar biasa. Atau malah warga cukup jadi penonton sambil mengeluarkan ponsel untuk merekam aksi perkelahian.
Tapi di sini beda. Dan ini culture shock keduaku. Warga yang melihat orang mau berkelahi spontan teriak, "Sholluu 'alan Nabi!" Mereka lalu pada baca shalawat. Termasuk dua pria tadi! Bukannya berantem, mereka malah salaman dan pelukan! Ini kejadian nyata yang aku lihat sendiri di depan mataku. Hanya dalam hitungan detik suasana panas itu langsung berubah jadi adem. Kalau di Indonesia reaksinya mungkin beda lagi. Banyak yang kecewa karena gagal menonton orang berkelahi.
Mendadak aku terkenang pengalaman zaman mondok saat kemarin berangkat Jum'atan. Aku agak telat dan mendapati fenomena yang jadi ciri khas muslim di sini. Sambil mendengar khutbah anak-anak remaja asyik ngobrol sambil ngopi dan merokok.
Pas shalat berlangsung anak-anak kecil ributnya bukan main. Mereka bahkan saling dorong seolah sedang berada di playground, bukan masjid. Kalau ada orang Arab yang lihat aku yakin mereka bakal shock!
Jakarta, 18 Januari 2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI