Mohon tunggu...
Ahmad R Madani
Ahmad R Madani Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis lagu, buku, komik, dan skenario film. Alumni ponpes Jombang, Bogor, dan Madinah. Menikah dengan seorang dokter. Menulis fiksi, film, religi, dan kesehatan. Semua akan dijadikan buku. Terima kasih sudah mampir.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Elon Musk, Sistem Khilafah, dan Ibnu Batutah

21 November 2024   12:44 Diperbarui: 21 November 2024   12:44 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada tanggal 13 dan 14 Februari 2023, dunia disuguhi sebuah gelaran besar bertajuk The World Government Summit di Dubai, dengan tema "Membentuk Pemerintah-Pemerintah Masa Depan". Acara ini dihadiri oleh banyak tokoh dunia, salah satunya adalah Elon Musk, CEO Tesla dan SpaceX yang dikenal sebagai orang terkaya di dunia. Dalam sesi pembicaraannya, Musk mengungkapkan beberapa pandangan yang menarik, termasuk pengakuannya terhadap peradaban Islam, khususnya mengenai sistem khilafah.

Dalam video yang tersebar di YouTube, Elon Musk menyampaikan pernyataan yang mengundang perhatian banyak orang. Ia mengatakan, "Ketika Roma runtuh, Islam bangkit, Anda memiliki kekhalifahan yang baik sementara Roma buruk. Dan itu akhirnya menjadi sumber pelestarian pengetahuan dan banyak kemajuan ilmiah." Pernyataan ini menggambarkan bagaimana peradaban Islam, khususnya melalui sistem khilafah, menjadi penjaga ilmu pengetahuan dan peradaban yang sangat penting dalam sejarah manusia. Musk secara eksplisit mengakui bahwa peradaban Islam memiliki kontribusi besar terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama setelah kejatuhan Roma.

Pernyataan ini menjadi semakin relevan ketika kita membandingkannya dengan kondisi dunia modern saat ini. Banyak pihak yang mengkritik sistem kapitalisme dan demokrasi yang dianggap menyumbang pada berbagai masalah global seperti peperangan, kemiskinan, dan kerusakan lingkungan. Menurut beberapa pengamat, kapitalisme yang diterapkan dalam sistem demokrasi modern seringkali memperburuk ketidaksetaraan dan merusak tatanan sosial. Elon Musk, yang dikenal dengan pandangannya yang tajam dan kadang kontroversial, menyampaikan bahwa peradaban Islam dengan sistem khilafahnya justru mampu menghasilkan kemajuan dalam berbagai aspek, termasuk dalam pelestarian ilmu pengetahuan yang pada saat itu jauh melampaui peradaban Barat.

Elon Musk bukan satu-satunya tokoh dunia yang mengakui kontribusi besar peradaban Islam. Barack Obama, mantan Presiden Amerika Serikat, juga pernah menyampaikan hal serupa. Dalam pidatonya pada 4 Juni 2009 di Universitas Al-Azhar, Mesir, Obama mengatakan, "Saya tahu bahwa peradaban banyak berutang kepada Islam. Islam, di tempat-tempat seperti Universitas Al-Azhar, telah membawa cahaya pembelajaran selama berabad-abad, membuka jalan bagi Renaisans dan Pencerahan Eropa." Obama juga menekankan kontribusi ilmiah yang luar biasa dari dunia Islam, termasuk perkembangan aljabar, kompas magnetik, percetakan, dan pemahaman medis.

Sementara itu, Mark Zuckerberg, pendiri Facebook, juga mengungkapkan rasa kagumnya terhadap kontribusi ilmuwan Muslim. Dalam sebuah wawancara, Zuckerberg menyatakan bahwa tanpa ilmu aljabar dan algoritma yang ditemukan oleh ilmuwan Muslim seperti Al-Khawarizmi, tidak akan ada Facebook, WhatsApp, atau bahkan komputer seperti yang kita kenal saat ini.

Dari berbagai pengakuan ini, terlihat jelas bahwa peradaban Islam memiliki dampak yang sangat besar terhadap dunia modern, baik dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, maupun peradaban sosial. Namun, di tengah semua pengakuan ini, masih ada sejumlah kalangan yang berusaha untuk merendahkan dan menanggapi dengan skeptis warisan peradaban Islam.

Elon Musk juga mengungkapkan kekagumannya terhadap sosok Ibnu Batutah, seorang penjelajah Muslim yang terkenal. Dalam akun X (dulu Twitter) miliknya, Musk merekomendasikan podcast berjudul The Explorers yang mengulas berbagai cerita eksplorasi budaya dari berbagai penjuru dunia. Salah satu cerita menarik yang ia temui adalah kisah perjalanan Ibnu Batutah.

Ibnu Batutah, yang lahir pada tahun 1304 di Maroko, dikenal sebagai salah satu penjelajah terbesar dalam sejarah. Selama hidupnya, Ibnu Batutah melakukan perjalanan lebih dari 117 ribu kilometer. Jarak itu melebihi ekspedisi Zheng He (Cheng Ho) yang menempuh jarak sekitar 50 ribu kilometer dan Marco Polo yang menempuh jarak sekitar 24 ribu kilometer.

Ibnu Batutah telah mengunjungi wilayah yang sangat luas, mulai dari Timur Tengah, Afrika Utara, Asia Selatan, Asia Tenggara, hingga Cina dan Spanyol. Keberaniannya untuk menempuh jarak jauh dan mendokumentasikan pengalamannya dalam karya monumental The Rihla menjadikannya sebagai salah satu penjelajah paling produktif di dunia pra-modern.

Pada tahun 1345 hingga 1346, Ibnu Batutah singgah di Indonesia, tepatnya di kerajaan Samudera Pasai yang terletak di pesisir utara Pulau Sumatra, yang kini dikenal sebagai Aceh. Dalam catatannya, Ibnu Batutah menggambarkan Samudera Pasai sebagai kota besar yang indah dan mengagumi Sultan Malikul Dhahir, pemimpin kerajaan tersebut. Ibnu Batutah juga mencatat bahwa pada masa itu, Samudera Pasai merupakan pusat peradaban Islam yang sangat maju di kawasan Asia Tenggara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun