Warung atau kedai kopi memiliki perjalanan sejarah yang kaya dan menarik. Dari awal mula sebagai sarana dakwah para sufi, tempat berkumpul untuk berbagi informasi, hingga berkembang menjadi kafe modern yang menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari.
Dalam kitab Syadzarat Adz-Dzahab, Abdul Hayyi Ad-Dimasyqi menulis, kalangan sufi memiliki andil besar mempopulerkan minuman kopi. Muhyiddin Abdul Qadir Al-Bakrawi, ulama sufi abad 9 yang juga pensyarah Shahih Bukhari dan Muslim ini mempopulerkan minuman kopi di Damaskus, hingga di kota itu banyak berdiri kedai kopi.
Dalam kitab Khulashah Al-Atsar, Al-Muhibbi menulis, karena bagi para ahli ibadah kopi merupakan sarana untuk menguatkan ibadah, maka mereka juga membangun kedai kopi. Hal ini dilakukan oleh seorang ulama besar sufi, Syeikh Muhammad bin Abi Bakr Ash-Shufi yang dikenal sebagai Syeikh Al-Yatim dari Damaskus. "Di awal mulanya Syekh mencari nafkah sebagai penjual kopi dengan suwiqah (roti gandum) yang dibakar, dan kedai kopinya merupakan tempat berkumpulnya orang-orang shalih. Syeikh menyewa tempat di samping kedai kopinya untuk dijadikan tempat shalat berjamaah. Jika adzan berkumandang, maka Syeikh mengajak para pembeli untuk melaksanakan shalat berjamaah."
Dalam kitab Risalah fi Asy-Syai wa Al-Qahwah wa Ad-Dukhan, Al-Qasimi menulis, bukan hanya dikenal dikonsumsi para ulama dari kaum sufi, kopi juga banyak dikonsumsi oleh para ulama pemikir. "Ia minuman para penulis, para guru, para penelaah kitab, para pengajar ilmu-ilmu sastra dan ilmu-ilmu profesi serta para penyair."
Â
Dengan demikian, tradisi mengonsumsi kopi dalam peradaban Islam tidak sekadar dianggap sebagai gaya hidup, melainkan juga sebagai media yang mendukung kemajuan, baik dalam urusan dunia maupun akhirat.
Menurut BBC, kedai kopi pertama yang didirikan oleh para sufi di Mesir berada di sekitar Universitas Al Azhar, Kairo. Baru diikuti dengan kehadiran beberapa kedai kopi yang ada di ibukota Turki, Ankara, pada masa pemerintahan Ottoman, sekitar tahun 1554. Dibantu dengan penyebaran sufi yang ikut masuk ke Turki, hingga akhirnya budaya berkumpul dan berserikat di kedai kopi sambil menikmati qahwa berkembang pesat.
Kopi yang populer di Konstantinopel (sekarang Istanbul) saat itu masih sebatas kopi panas. Sampai hari ini orang-orang Turki memasak kopi dengan cara tradisional menggunakan pasir untuk menghantarkan suhu panas dan menyeduh kopi. Kedai kopi di Istanbul awal abad ke-16 disebut 'Kahveh', dan segera menjadi pusat sosial dan budaya, tempat orang berkumpul untuk berdiskusi, mendengarkan musik, dan bermain permainan.
Kedai kopi kemudian menyebar ke Eropa abad ke 17 dan 18. London, Paris, dan Vienne menjadi pusat-pusat kedai kopi yang ramai, dengan masing-masing memiliki karakter unik. Sama seperti di tanah Arab, kedai kopi di Eropa juga diandalkan sebagai tempat untuk para pria berbincang dan bertukar pikiran.
Di London, misalnya, kedai kopi sering kali berfungsi sebagai tempat untuk berdiskusi tentang politik dan bisnis. 'Penny Universities' menjadi istilah untuk menggambarkan kedai kopi, di mana dengan membayar hanya satu penny, seseorang bisa mendapatkan akses ke diskusi yang kaya akan informasi.