Dari blockbuster yang menggebrak box office hingga film yang meraih pujian kritis, tidak semua sekuel mampu mengulangi kesuksesan pendahulunya. Dalam dunia perfilman, ada sekuel-sekuel yang berambisi tinggi namun berakhir mengecewakan, meninggalkan penonton bertanya-tanya: di mana semua itu salah?
Ada yang gagal hingga mengalami kerugian besar. Ada yang gagal mendapatkan pencapaian yang sama dengan film pertamanya. Ada juga yang gagal karena mendapat banyak komentar negatif dari publik dan kritikus. Berikut adalah beberapa contoh sekuel yang dianggap gagal total:
Speed 2: Cruise Control (1997). Sekuel dari Speed (1994) ini tidak berhasil mengulang kesuksesan film pertamanya dan dinilai sebagai film yang membosankan. Penonton seolah tidak rela melihat chemistry antara Sandra Bullock dan Keanu Reeves harus digantikan dengan Jason Patric. Dari anggaran $160 juta hanya menghasilkan $164.5 juta.
Basic Instinct 2 (2006) adalah sekuel dari film ikonis Basic Instinct (1992) yang dibintangi oleh Sharon Stone. Meskipun film pertama sukses besar dan menjadi salah satu film thriller erotis paling terkenal, sekuel ini tidak berhasil mencapai kesuksesan yang sama, bahkan mengalami kerugian signifikan. Mendapat banyak kritik negatif yang menyebut naskahnya lemah dan plotnya tidak menarik. Dengan anggaran produksi $70 juta hanya meraup $38 juta.
Son of the Mask (2005). Sekuel dari The Mask (1994) ini mendapat ulasan negatif dari kritikus dan penonton. Dikenal karena penggunaan efek CGI yang berlebihan dan cerita yang lemah. Tapi faktor kesalahan terbesar adalah ketidakhadiran Jim Carrey dalam film ini. Dari anggaran $84 juta hanya menghasilkan $18.9 juta.
Evan Almighty (2007) memiliki kasus serupa. Film ini beralih dari karakter Bruce Nolan yang diperankan oleh Jim Carrey di Bruce Almighty (2003) ke Evan Baxter yang diperankan oleh Steve Carell. Memiliki anggaran produksi $175 juta. Meskipun berhasil meraup $100 juta, angka tersebut masih jauh dari memadai untuk menutupi biaya produksi dan pemasaran.
Beberapa film sekuel dihujani kritik karena dianggap tidak lebih baik dari film pertamanya, meskipun secara finansial ada yang mencapai sukses luar biasa. Sebut saja film Robocop 3 (1993), Batman & Robin (1997), Alien: Resurrection (1997), Child's Play 3 (1991), The Karate Kid Part III (1989), The Matrix Revolutions (2003), Hellboy II: The Golden Army (2008), Underworld: Awakening (2012), The Smurfs 2 (2013), The Hangover Part III (2013), Dumb and Dumber To (2014), Zoolander 2 (2016), Transformers: The Last Knight (2017), Pacific Rim: Uprising (2018), Terminator: Dark Fate (2019), X- Men: Dark Phoenix (2019).
Setelah puas membahas film-film sekuel yang gagal, sekarang kita masuk ke tema artikel, yaitu pembahasan soal film Joker (2019) dan sekuelnya Joker 2: Folie A Deux (2024). Mari kita segarkan ingatan kita dengan membahas film pertamanya. Joker adalah film yang gelap dan mendalam, mengisahkan perjalanan Arthur Fleck, seorang komedian gagal yang mengalami berbagai kekerasan fisik dan mental di Gotham yang penuh ketimpangan. Disutradarai oleh Todd Phillips, film ini menggambarkan bagaimana kondisi sosial dan kesehatan mental berkontribusi pada transformasi Fleck menjadi Joker, pangeran kriminal yang tidak berperasaan.
Cerita ini tidak hanya menyajikan aksi kekerasan, tetapi juga menyoroti masalah penting seperti marjinalisasi dan kekurangan dukungan emosional. Penonton diharapkan untuk memahami betapa seriusnya tema yang diangkat, sehingga film ini ditujukan untuk usia 17 tahun ke atas, dan bisa menjadi tantangan bagi mereka yang berjuang dengan masalah kesehatan mental.
Melalui narasi yang gelap, Phillips mengajak penonton untuk lebih empatik, menunjukkan bahwa kita tidak selalu tahu apa yang dialami seseorang di balik senyuman mereka. Dengan sinematografi yang memukau dan musik yang mendalam, Joker menawarkan pengalaman sinematik yang mengesankan, meskipun memicu perdebatan mengenai empati terhadap karakter penjahat.