Aria duduk sendirian di ruang tamu rumah tuanya, menatap dinding-dinding yang seolah menyimpan semua kenangan pahitnya. Dua bulan lalu, ia baru saja putus dari pacarnya, dan kesepian kini menggerogoti jiwanya. Hujan turun di luar, suara tetesan air menciptakan irama monoton yang mengingatkannya pada kebisingan emosional di dalam hatinya. Semua yang dulu indah kini terasa hampa.
Dalam usaha untuk mengalihkan pikirannya, Aria menjelajahi rumah yang diwariskan oleh neneknya. Di antara barang-barang tua dan kenangan yang terabaikan, ia menemukan telepon antik yang terletak di sudut ruangan. Tertarik, ia menyambungkan kabelnya, berharap telepon itu masih berfungsi. Setelah beberapa deringan, suara lembut menjawab.
"Hallo?"
"Siapa ini?" tanya Aria, sedikit terkejut.
"Aku Lesti. Siapa kamu?" jawab suara itu, penuh keheranan.
Percakapan yang dimulai dari rasa penasaran itu perlahan-lahan berubah menjadi jalinan yang lebih dalam. Setiap malam, Aria dan Lesti berbagi cerita tentang kehidupan mereka---tentang mimpi, harapan, dan ketidakpastian. Lesti, dengan semangatnya yang menggebu, seolah menghidupkan kembali bagian-bagian dalam diri Aria yang sempat mati. Ia merasa terhibur, dan kesepian yang menyiksanya mulai mereda.
Namun, kebahagiaan itu dibayangi oleh rasa ingin tahu yang semakin mendalam. Suatu malam, saat Lesti bercerita tentang impian dan kehidupannya, Aria tidak bisa menahan pertanyaannya. "Lesti, gaya bicaramu dan ceritamu sepertinya kamu bukan dari generasi tahun 2000-an?"
"Apa? 2000-an? Itu masih terlalu jauh. Sekarang kan masih tahun 1920," jawabnya dengan nada serius.
"Kamu tidak bercanda kan? Kita... kita dari generasi yang berbeda!" Suaranya bergetar, kesadaran itu menghantamnya seperti petir.
Mata Lesti membelalak, shock menyusup ke dalam suaranya. "Tapi... itu tidak mungkin! Kita bisa berbicara. Bagaimana mungkin kita terpisah oleh waktu?"