Kekacauan melanda pikiran Aria. Dia merasa seperti terjebak dalam film yang tidak bisa ia hentikan. "Kita tidak bisa bersama. Tidak dalam arti yang sebenarnya," ujarnya, suara penuh kesedihan.
Suatu malam, Aria yang seorang mekanik memutuskan untuk menghubungkan telepon antik itu dengan TV, berharap bisa melakukan video call. Setelah berusaha keras, ia berhasil. Ketika layar TV menyala, mereka berdua terpukau melihat wajah masing-masing untuk pertama kalinya. Tawa dan air mata mengisi momen itu, menguatkan perasaan yang telah terbangun.
"Hanya ini yang bisa aku lakukan, Lesti. Tidak lebih," kata Aria dengan suara yang mengandung keputusasaan.
"Tidak mengapa. Setidaknya aku bisa melihatmu. Itu sudah lebih dari cukup," jawab Lesti meski kalimatnya terdengar tidak meyakinkan.
Setiap malam, mereka menjalin percakapan yang menghangatkan jiwa, membahas segala hal mulai dari kehidupan sehari-hari hingga harapan untuk masa depan. Aria terpesona oleh semangat Lesti yang menentang norma zamannya, sementara Lesti terpesona oleh kebebasan yang Aria miliki.
Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Suatu malam, saat badai mengamuk di luar, petir menyambar dan membuat listrik padam. Telepon antik itu berhenti berfungsi, dan Aria tidak bisa menghubungi Lesti lagi. Ia merasa seolah separuh jiwanya telah hilang.
Aria lalu mencari di mana Lesti dikebumikan dan berkunjung ke sana. Di sanalah ia menaruh mawar merah sebagai simbol cinta yang terputus. "Lesti, aku merindukanmu," bisiknya, menatap nisan yang sunyi. "Aku ingin kau tahu, meski kita terpisah oleh waktu, kau selalu ada di hatiku."
Setetes air mata mengalir di pipinya. Malam itu, di bawah sinar bulan yang redup, Aria merasakan kehadiran Lesti seolah bayangannya melintas di antara pohon-pohon, menemaninya dalam kesunyian. Meski mereka tidak bisa bertemu, cinta mereka tetap terjalin dalam kenangan dan harapan.
Mawar merah itu mungkin akan layu tergerus oleh waktu. Tapi tidak dengan cinta Aria kepada Lesti.
TAMAT
"Kita, sebagai manusia, belajar melalui berbagi dan berkomunikasi." - Hugo Reynolds