Di sebuah desa kecil yang terletak di kaki gunung, hiduplah seorang pelawak bernama Joko. Meski usianya sudah senja, Joko masih memikat hati penduduk desa dengan lelucon-leluconnya. Setiap sore, alun-alun desa dipenuhi tawa saat ia tampil. Namun, di balik senyumnya yang lebar, ada rasa kesepian yang menggelayuti hati tuanya.
Tahun-tahun berlalu, dan Joko merindukan ayahnya, yang telah pergi sebelum saatnya. Sebelum meninggal, ayahnya selalu memberinya semangat untuk terus menghibur orang lain. "Lelucon terbaik adalah yang bisa membuat orang tersenyum, meskipun kita sendiri sedang berduka," kata ayahnya. Kalimat itu selalu terngiang dalam benaknya.
Suatu hari, setelah pertunjukan yang mengesankan, Joko memutuskan untuk mengadakan pertunjukan pamit. Ia merasa sudah saatnya mengucapkan selamat tinggal pada panggung yang telah menjadi sahabatnya selama puluhan tahun. Ia ingin meninggalkan kenangan indah bagi desa yang telah menghangatkan hatinya.
Hari itu, penduduk desa berkumpul dengan penuh antusiasme, tidak menyangka bahwa ini adalah pertunjukan terakhir Joko. Dengan kostum berwarna-warni dan topi lebar, Joko melangkah ke panggung. Kegembiraan memenuhi alun-alun. Joko mulai dengan beberapa lelucon pendek yang membuat orang tertawa.
"Beberapa orang masuk ke kehidupan kita dan meninggalkan 'jejak' di hati. Sementara yang lain, masuk ke kehidupan kita dan membuat kita ingin meninggalkan 'jejak' di muka mereka. Beberapa orang menciptakan kebahagiaan ke mana pun dia pergi, sementara orang yang lain menciptakan kebahagiaan setiap kali dia pergi. Percayalah bahwa di suatu sudut permukaan bumi ini ada seseorang yang bahagia dengan kehadiranmu. Tapi ingat, bumi itu bulat, jadi gak ada sudutnya."
Setelah puas membuat penonton tertawa, tiba saatnya Joko menutup acara dengan lelucon terakhir.
"Teman-teman," Joko memulai dengan suara bergetar, "hari ini, saya ingin berbagi satu lelucon terakhir."
Penonton terdiam, tidak sabar menunggu lelucon yang dijanjikannya. Joko pun bercerita tentang ayahnya, bagaimana sang ayah mengajarinya arti tawa yang tulus, meski di balik kesedihan.
"Jadi, jika ada orang yang bertanya kepada kalian, Apa itu hidup? jawabnya, Hidup adalah lelucon, dan kita semua adalah pelawak yang kadang lupa skrip."
Penonton tersenyum. Â
"Sekarang, sebelum kalian beranjak, saya punya satu lelucon terakhir... dan ini benar-benar terakhir, karena saya sudah tidak punya lagi! Setelah ini, saya tidak akan muncul lagi. Jadi, lelucon terakhir saya adalah... selamat tinggal! Terima kasih telah menjadi bagian dari hidup saya."
Penonton tertawa dan bertepuk tangan dengan riuh. Saat tawa dan tepuk tangan mereka mulai melambat, Joko merasakan kesedihan yang mendalam. Ia menatap kerumunan wajah-wajah yang penuh harapan. Kemudian, perlahan-lahan, ia ambruk, tubuhnya jatuh ke tanah. Suara tawa yang sebelumnya riuh seketika menghilang.
Semua orang terdiam, menatap Joko yang tergeletak di panggung. Kecemasan mulai menyelimuti alun-alun. Seorang gadis berlari ke panggung, mencoba membangunkannya, tetapi tidak ada respons. Hati setiap penduduk desa bergetar; mereka tahu bahwa lelucon terakhir Joko adalah yang paling menyedihkan.
Dalam keheningan yang mencekam, mereka menyadari bahwa Joko telah pergi. Rasa kehilangan menyelimuti, dan tawa yang sebelumnya mengisi udara kini digantikan oleh air mata. Mereka merindukan pelawak yang telah menghibur mereka, seorang sahabat yang selalu menghadirkan senyuman di wajah mereka.
Di tengah kerumunan, seorang pemuda berdiri, bergetar, dan mulai bercerita tentang bagaimana Joko selalu membuatnya tertawa, bagaimana lelucon-lelucon Joko menjadi penyejuk di saat-saat sulit. Satu per satu, orang-orang mulai berbagi kenangan mereka, mengenang momen indah yang telah dibagikan oleh Joko. Tawa yang tak lagi terdengar kini berganti dengan cerita-cerita penuh kasih.
Malam itu, mereka menguburkan Joko di bawah pohon beringin yang rimbun di tengah desa, tempat di mana ia sering menghibur. Dalam hening malam, satu persatu mereka mengucapkan selamat tinggal dengan penuh rasa syukur. Joko mungkin telah pergi, tetapi lelucon dan senyumannya akan terus hidup di dalam hati mereka.
Lelucon terakhir Joko tidak hanya menjadi pamit, tetapi sebuah perayaan kehidupan yang penuh cinta dan kenangan. Meskipun Joko telah menutup tirai pertunjukan, warisan keceriaannya akan selalu ada di desa itu, mengingatkan semua orang bahwa tawa adalah jembatan yang menghubungkan hati kita, bahkan di saat-saat paling kelam sekalipun.
TAMAT
"Rasa humor adalah bagian dari seni kepemimpinan, bergaul dengan orang lain, menyelesaikan sesuatu." - Dwight D. Eisenhower.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H