Bastian, pemuda sukses yang memimpin perusahaan papan atas, memandang sinis pada sosok OB yang berdiri di depannya. Wajahnya tampak lelah dan cemas. "Saya butuh bantuan, Bos. Anak saya sakit keras. Tolong, pinjamkan saya uang untuk berobat," ujar OB itu, suaranya bergetar penuh harap.
Namun, Bastian, yang terjebak dalam kesombongan dan ambisi, hanya merasakan kebencian terhadap ketidakberdayaan itu. "Ini bukan masalah saya. Pergi! Saya tidak mau mendengar alasanmu," ujarnya sambil melambaikan tangan. Sekuriti segera menghampiri, mengusir OB itu dengan kasar.
Malam harinya, ketika Bastian terlelap di rumah megahnya, mimpinya terdistorsi. Ia terbangun dalam kegelapan, terjatuh di atas gundukan sampah. Bau busuk menyengat hidungnya. Ia berusaha berdiri, namun jatuh terguling, merasakan kotoran di seluruh tubuhnya. Ketika mencoba bangkit, semuanya terasa tak berujung. Belum sampai ke tanah, ia terbangun kembali, kali ini di kamar tidur yang sama, namun ada yang tidak beres.
Bau busuk menyelimutinya, menempel di kulit dan pakaiannya. Ia segera mandi, berusaha menghilangkan bau itu, mencuci dan menggosok sampai kulitnya kemerahan. Namun, hasilnya nihil. Bau tetap menyengat.
Hari itu Bastian terbangun dengan perasaan aneh. Setiap inci tubuhnya terasa lengket, dipenuhi aroma busuk yang menjijikkan. Ia melirik cermin, dan wajahnya terpantul dalam kegelapan. Ia ingin meneriakkan ketakutan, tetapi suara itu terhenti di tenggorokannya.
Setelah mandi, Bastian berharap bau itu menghilang, tetapi tidak. Ketika ia melangkah ke luar, dunia yang biasanya bersahabat kini terasa sangat asing. Di setiap langkahnya, orang-orang menghindar. Mereka menutup hidung, wajahnya mengernyit dalam rasa jijik. Suara bisikan dan tawa di belakangnya menggema di telinga, mengisyaratkan bahwa ia bukan lagi Bastian yang terhormat.
"Tidak mungkin!" pikirnya. Ia melangkah lebih cepat, mencoba menjelaskan kepada pegawai yang menatapnya dengan mata penuh kebencian. Namun, semua hanya menjauh. Seorang rekan kerja bahkan muntah ketika tercium aroma tak tertahankan itu. Bastian merasakan remuk di hatinya, seolah disiram air es.
Pertemuan penting di ruang rapat semakin memperparah keadaan. Saat semua orang berkumpul, suasana menjadi tegang. Ketika Bastian membuka suara, setiap kata tampak tenggelam dalam aroma busuk yang menyelimuti mereka. Pegawai-pegawai menutup hidung, wajah mereka mengekspresikan rasa tidak nyaman.
Bastian merasa hancur. Dalam kesedihan, ia teringat pada OB yang diusirnya. Hatinya terhimpit rasa bersalah. Ia merutuki keputusannya yang egois, menyadari bahwa tindakan kecilnya telah mengakibatkan kesengsaraan bagi orang lain. Tindakan yang tampaknya sepele, tetapi mengguncang hidup seseorang.
Dengan hati berdebar, ia memanggil asistennya. "Panggil OB itu. Dia harus kembali bekerja. Dan berikan dia uang untuk operasi anaknya, bukan sebagai pinjaman," ujarnya tegas.