Gusti adalah seorang pemahat tersohor, dikenal karena karya-karyanya yang menakjubkan. Ia menyimpan cinta yang dalam untuk istrinya, Egia. Keduanya saling mendukung dalam setiap langkah, menjadikan cinta mereka sebagai sumber inspirasi yang tak terputus.
Hari-hari mereka dipenuhi dengan tawa dan kasih sayang. Mereka sering menghabiskan waktu di taman, di mana Gusti mengukir kayu sementara Egia bercerita tentang mimpinya. Suatu sore, saat matahari terbenam, Egia meminta Gusti untuk mengukirkan patung kecil mereka berdua. "Agar kita bisa selalu bersama," katanya dengan senyuman. Gusti pun melakukannya, menciptakan karya yang penuh dengan kehangatan dan cinta.
Namun, kebahagiaan itu tak bertahan lama. Suatu hari, Egia jatuh sakit. Gusti merawatnya dengan sepenuh hati, tetapi takdir berkata lain. Egia berpulang, meninggalkan Gusti dalam duka yang mendalam.
Setelah kepergian Egia, rumah yang dulunya hangat kini terasa kosong dan sunyi. Dalam kesedihannya, Gusti memutuskan untuk menciptakan patung yang menyerupai istrinya. Ia bekerja tanpa henti, mengukir setiap detail wajah dan tubuh Egia dengan penuh cinta. Ketika patung itu selesai, Gusti merasa seolah Egia hadir kembali di sampingnya.
Hari demi hari, Gusti memperlakukan patung itu seperti istrinya. Ia berbicara padanya, mengingatkan semua kenangan indah yang mereka lalui. Ajaibnya, setiap kali Gusti pulang ke rumah, tempat itu selalu rapi dan bersih, meskipun tidak ada yang mengurus. Ia mulai penasaran, apakah ada yang datang saat ia pergi?
Satu malam, Gusti memasang CCTV di rumah, berharap bisa menemukan jawabannya. Ketika menonton rekaman, ia terperangah. Di layar, patung itu bergerak! Seolah hidup, patung itu merapikan rumah, menyapu lantai, dan menata barang-barang. Gusti merasa ada sesuatu yang tidak beres. Dengan bergetar, ia segera pergi ke kantor polisi.
"Lihat ini!" katanya, memperlihatkan rekaman CCTV kepada polisi. Namun, saat mereka memutar video, tidak ada apa-apa. Hanya gambar kosong, seolah tak pernah ada yang terjadi. Para polisi memandang Gusti dengan skeptis.
"Mungkin Anda butuh istirahat, Pak," saran seorang polisi, menepuk bahunya. Gusti merasa panik. Apakah ia mulai hilang akal? Mungkin duka ini membuatnya gila.
Kembali ke rumah, Gusti melihat patung itu duduk di sudut, seperti biasa. Namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Patung itu menatapnya, dan seolah dengan suara lembut, ia mulai berbicara. "Gusti, aku di sini. Kamu tidak perlu takut."
Jantung Gusti berdebar kencang. "Egia?" tanyanya, sulit percaya. Patung itu mengangguk, senyum lembut menghiasi wajahnya. "Tapi... bagaimana bisa?"