Hati kecilnya mulai mengusik. Selama ini, Evan telah menutupi kegelisahannya dengan humor, berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja. Tapi kini, tak ada lagi tempat untuk bersembunyi. Ia harus menghadapi dirinya sendiri, menerima bahwa ia tertinggal, bahwa ia belum merancang masa depan.
Perlahan-lahan, Evan tersenyum. Bukan senyum lebar yang biasa ia tunjukkan saat bercanda, tapi senyum yang penuh kesadaran. Kesadaran bahwa ia sudah bersedih. Dan, dalam kesedihannya, ia menemukan sesuatu yang baru---kedewasaan.
"Ini mungkin pertama kalinya aku benar-benar sedih," gumamnya lagi. "Dan itu artinya... aku akhirnya dewasa."
Evan bangkit dari kursinya, melihat keluar jendela. Malam itu terasa berbeda. Ia masih sendiri, masih dikelilingi oleh sunyi. Tapi kali ini, ia tidak lagi takut. Ia menerima kesepian itu sebagai bagian dari perjalanannya.
Evan berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan mulai memikirkan masa depan, bahwa ia akan merancang hidupnya dengan lebih serius. Namun, ia tidak akan kehilangan tawa. Ia hanya akan menyeimbangkannya dengan kesedihan yang sesekali datang. Karena, seperti yang ia sadari malam itu, menjadi dewasa bukan berarti berhenti tertawa. Justru, tawa akan lebih bermakna setelah kita tahu bagaimana rasanya bersedih.
Dan, dengan senyum yang lebih tulus daripada sebelumnya, Evan akhirnya menerima bahwa hidup adalah panggung yang berisi komedi dan tragedi. Keduanya harus ia jalani, dan ia siap untuk keduanya.
TAMAT
"Kita tidak menjadi dewasa karena usia, kita dewasa dalam kesadaran." - Byron Katie
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H