Di suatu senja yang tenang, Candra melangkah pelan di jalanan berdebu menuju kampung halamannya. Matahari sore memercikkan warna emas di langit, menebarkan kehangatan yang sudah lama tak ia rasakan. Sepuluh tahun berlalu sejak dia meninggalkan kampung ini, tetapi semuanya tampak sama. Tak ada yang berubah. Pohon jati besar di dekat pintu gerbang desa masih berdiri kokoh, seakan-akan menunggu kembalinya dia yang lama hilang.
Langkah-langkah Candra terasa ringan, meskipun dadanya sesak oleh perasaan rindu yang bercampur rasa bersalah. Ia pergi tanpa pamit, meninggalkan segalanya dengan harapan menemukan kehidupan yang lebih baik di kota. Namun, kehidupan yang dijanjikan itu tak pernah tiba. Hari-harinya di kota hanya dipenuhi oleh rutinitas tanpa jiwa, memburu kebahagiaan yang entah di mana.
Di tikungan pertama, ia bertemu dengan Pak Karman, tetangga lamanya. Lelaki tua itu sedang duduk di depan rumah, seperti biasa, menghisap rokok kretek. Wajahnya ramah, penuh keriput, namun mata Pak Karman bersinar dengan kehangatan yang akrab. "Candra, kamu sudah pulang?" tanya Pak Karman, tersenyum. Candra mengangguk, tak mampu berkata apa-apa. Keharuan menggumpal di tenggorokannya.
Candra melangkah lebih jauh. Setiap orang yang ia lewati mengenalnya, menyapa dengan senyuman seakan tak pernah ada waktu yang hilang. Bahkan ada beberapa wajah yang seharusnya sudah tiada---seperti Pak Manan, tukang becak yang meninggal lima tahun lalu. Candra berhenti sejenak, merasa ada yang janggal. Tapi nostalgia kampung halaman lebih kuat dari rasa curiganya. Mungkin dia hanya kelelahan, pikirnya, dan otaknya bermain-main dengan ingatannya yang usang.
Di ujung jalan, rumah orang tuanya berdiri kokoh, seperti monumen masa lalu yang tak tersentuh waktu. Pagar kayu masih sama, cat dinding yang pudar pun mengingatkannya pada masa kecilnya---berlari-lari di halaman, tertawa tanpa beban. Candra mendekati pintu depan. Pintu itu terbuka perlahan, seakan menyambutnya kembali.
Ibunya duduk di ruang tamu, tersenyum lembut, tatapan penuh kasih seperti yang selalu ia kenang. Ayahnya duduk di kursi rotan, menghisap rokok dalam diam, seperti kebiasaannya yang dulu.
"Kamu sudah kembali, Nak," kata ibunya, suaranya pelan, namun penuh cinta. Candra menunduk, merasa air mata hampir jatuh. Sudah terlalu lama dia merindukan saat ini.
"Ibu... Ayah... aku pulang," katanya terisak.
Namun, ada sesuatu yang menggantung di udara. Sesuatu yang tak terucap, yang membuat suasana ini terlalu sempurna, seperti mimpi. Saat itulah Candra menyadari bahwa ayahnya meninggal lima tahun lalu!
Jantung Candra berdetak kencang. Ia memandang wajah orang tuanya, lalu berkeliling ruangan, mencari tanda-tanda kejanggalan. Seisi rumah ini sama persis dengan ingatannya---tidak ada yang berubah, bahkan taplak meja yang robek masih di tempat yang sama seperti saat dia pergi. Ia beranjak keluar, langkah-langkahnya tiba-tiba terasa berat.
Di luar, kampung itu masih sama. Orang-orang terus berlalu-lalang, tersenyum kepadanya, tetapi sekarang senyuman mereka tampak... kosong. Candra menatap sekeliling, mencoba mengingat detail-detail yang pernah ia kenal dengan baik, tapi semakin dia memperhatikannya, semakin terasa asing. Seperti sebuah gambar yang terlalu sempurna untuk nyata.