Di sebuah jalan setapak yang sunyi, Pak Harun berjalan pelan. Langit menjelang senja memayungi tubuh tuanya yang membungkuk, seolah melambangkan beban waktu yang terus mengikutinya. Angin berembus lembut, menerbangkan daun-daun kuning keemasan yang jatuh dari pohon-pohon di pinggir jalan. Setiap kali dedaunan itu menyentuh tanah, seolah membawa bisikan kenangan yang mengusik pikirannya.
Pak Harun menatap dedaunan yang berserakan di hadapannya. "Seperti hidupku," gumamnya, suaranya nyaris tenggelam dalam lirih angin. Daun pertama yang gugur, yang kini terinjak kakinya, mengingatkannya pada masa kanak-kanaknya. Ia pernah berlari-lari di jalan yang sama, berkejaran dengan angin, menggenggam layang-layang yang melayang tinggi. Keceriaan itu seolah hanya ilusi yang makin samar di ingatannya. Seiring langkahnya, ia menyadari bahwa kegembiraan yang dulu pernah menjadi miliknya kini hanyalah daun kering yang terbang terbawa angin waktu.
Langkahnya semakin pelan ketika ia melihat daun lain jatuh di hadapannya, mengingatkan pada hari ketika ia harus meninggalkan kampung halaman untuk merantau ke kota. Orang tuanya melambai di ambang pintu, wajah mereka berpendar di antara kebanggaan dan kesedihan. Pak Harun tahu itu adalah daun lain yang gugur dalam hidupnya --- meninggalkan akar-akar kasih sayang yang ia pupuk di tanah yang kini terasa jauh dari jangkauannya.
Di bawah naungan pohon tua, Pak Harun berhenti. Di sekelilingnya, dedaunan semakin banyak berguguran, membuat jalan di depannya semakin sulit dilihat. Daun yang jatuh berikutnya mengingatkannya pada pertemuan dengan seseorang yang dulu menjadi pusat dunianya. Murni, nama itu masih terasa hangat di bibirnya meski ia sudah tak pernah lagi menyebutnya. Wanita itu datang seperti musim semi, membawa harum bunga-bunga yang tak pernah ia kenali sebelumnya. Bersamanya, Pak Harun merasa hidup begitu cerah, begitu penuh harapan. Namun, sebagaimana daun musim gugur, cinta itu pun pada akhirnya jatuh, melayang ke tanah, hilang dalam putaran waktu.
Pak Harun menghela napas panjang. Di kejauhan, ia mendengar suara langkah kaki lain. Ia teringat anak-anaknya, yang kini telah berkeluarga dan menetap jauh. Hubungan mereka perlahan menjauh seperti daun yang tertiup angin ke tempat yang tak bisa lagi ia capai. Sesekali, mereka datang mengunjunginya, namun percakapan terasa kaku, seperti daun yang terlepas dari rantingnya, tak lagi menyatu dengan pohon kehidupan yang dulu mereka tumbuhi bersama.
Langkah Pak Harun terhenti sepenuhnya saat ia melihat di depan sana, jalan yang semula jelas, kini hampir tertutup sepenuhnya oleh lapisan daun-daun gugur. Setiap daun tampak memanggilnya, menceritakan sepenggal kisah yang tak bisa ia hindari. Daun terakhir yang jatuh di kakinya membawa bayangan hari di mana istrinya, Siti, terbaring lemah di ranjang. Wajahnya pucat, tapi masih menyimpan senyum yang selalu menjadi pelipur laranya.
"Jangan menangis, Harun," ucapnya kala itu dengan suara yang lemah namun tegar, "Aku akan selalu ada di sini, bersama angin yang berembus setiap kali kau berjalan di jalan setapak ini."
Pak Harun merasakan air mata menggenang di sudut matanya. Daun-daun gugur itu tak lagi hanya dedaunan biasa, melainkan kenangan yang menutup jalan hidupnya. Mereka melambangkan kehilangan-kehilangan yang satu per satu menumpuk, membentuk hamparan kenangan yang tak terhindarkan. Namun, meski jalan itu perlahan tertutup, ia tahu tak semua kenangan menyakitkan. Ada harapan di setiap helai daun yang jatuh, bahwa setiap kepedihan yang ia rasakan merupakan bagian dari perjalanan hidup yang utuh.
Sambil memandang senja yang kian merona di ufuk barat, Pak Harun tersenyum tipis. Ia sadar bahwa hidup, seperti daun-daun itu, selalu berguguran pada waktunya. Tak ada yang abadi, namun dari setiap kepingan masa lalu yang jatuh, lahirlah pemahaman baru tentang kehidupan dan dirinya sendiri.
Pak Harun membungkuk, meraih sehelai daun yang masih utuh di tanah. Ia memutarnya di antara jari-jarinya, merasakan tekstur rapuhnya. "Seperti kita semua," bisiknya pada dirinya sendiri. Ia menaruh daun itu di kantong bajunya, sebagai pengingat bahwa meskipun daun-daun lain telah hilang, ada yang selalu bisa ia bawa bersama: kenangan yang ia pilih untuk dikenang, bukan untuk ditangisi.