Regina membuka halaman terakhir buku harian Mira. Untuk Ibu, judulnya.
Aku tahu perjalanan ini akan segera berakhir, tapi aku merasa damai. Aku sudah menjalani hidup yang penuh dengan cinta dan tawa, semua karena Ibu. Aku akan selalu bersama Ibu, dalam setiap hembusan angin yang menyentuh pipi Ibu, dalam setiap sinar matahari yang menghangatkan hari-hari Ibu. Jangan merasa bersalah, Ibu sudah memberikan yang terbaik untukku. Aku mencintai Ibu, seluas dan sedalam samudra.
Regina tersenyum penuh haru. Tahu bahwa Mira memiliki hidup yang bahagia memantik sedikit api kehidupan dalam dadanya yang sebelumnya hanya terisi oleh kehampaan. Kini air di kamarnya kembali surut dan hanya menyisakan pasir.
Terdengar suara kencang dari luar rumah. Regina melongok melihat sesuatu yang begitu besar dari jendela kamarnya. Kapal laut. Dengan cepat ia keluar rumah, berpijak pada pasir hangat yang menyelimuti sela-sela jari kakinya. Ia hendak menaiki kapal itu, namun teringat satu hal. Ia masuk ke dalam rumah untuk mencari mainan kapal laut Mira. Namun, dia tak menemukannya sama sekali. Pada akhirnya dia mengambil buku harian Mira dan masuk ke dalam kapal tersebut.
Sesaat kemudian, kapal itu berlayar. Laut terasa begitu tak terbatas. Di kejauhan, tak terlihat daratan, namun Regina bisa merasakan ada sesuatu yang besar di lokasi tujuannya, seakan mengingatkan bahwa di tengah gempuran ombak kepedihan yang dalam ini, ada pulau harapan yang mengingatkannya untuk tidak tenggelam terlalu dalam.
TAMAT
"Air mata yang menetes untuk orang lain bukanlah pertanda kelemahan. Itu adalah tanda hati yang murni." - Jos N. Harris.
NOTE: Cerpen ini hasil kolaborasi aku dan putriku, Sasha Q.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H