Film horor Asia telah lama dikenal karena mampu menawarkan sesuatu yang berbeda dari horor barat. Dengan menggabungkan elemen mistis, budaya lokal, serta pendekatan sinematik yang unik, horor Asia berhasil menciptakan cerita yang mendalam dan menakutkan, sekaligus menggugah emosi penonton.
Salah satu kekuatan utama film horor Asia adalah kemampuannya untuk memanfaatkan budaya dan tradisi lokal. Misalnya, Jepang dengan yurei (roh hantu), Korea Selatan dengan cerita rakyat tentang gumiho (rubah berekor sembilan), dan Indonesia dengan legenda tentang kuntilanak dan pocong. Keunikan ini memberikan nuansa autentik yang sulit ditemukan dalam film horor barat.
Horor Asia seringkali lebih fokus pada ketakutan psikologis daripada hanya mengandalkan jumpscares. Film-film seperti Ringu (1998) dari Jepang dan A Tale of Two Sisters (2003) dari Korea Selatan mengeksplorasi ketakutan yang lebih mendalam, seperti trauma, rasa bersalah, dan isolasi, yang menjadikannya lebih menghantui dan sulit dilupakan.
Film horor Asia dikenal dengan penggunaan visual yang kuat, baik itu dalam bentuk sinematografi yang atmosferik, penggunaan warna yang simbolis, atau desain suara yang meresahkan. Hal ini menciptakan pengalaman menonton yang mendalam dan imersif, di mana ketegangan dibangun dengan cermat.
Film Ringu (1998) dari Jepang, yang disutradarai oleh Hideo Nakata, tidak hanya menjadi fenomena di Asia, tetapi juga di seluruh dunia. Film ini meraup pendapatan lebih dari $19 juta secara global dan memicu tren remake horor Asia di Hollywood, termasuk film The Ring (2002) yang sukses besar di box office.
Beberapa film horor Asia telah diadaptasi atau di-remake oleh Hollywood. Selain Ringu, ada juga Ju-on (2002) yang di-remake menjadi The Grudge (2004) di Amerika Serikat. Adaptasi ini menunjukkan betapa kuatnya daya tarik cerita horor Asia hingga menarik perhatian industri film barat.
Horor Asia juga diakui secara kritis di berbagai festival film internasional. Film The Wailing (2016) dari Korea Selatan, yang disutradarai oleh Na Hong-jin, mendapat pujian luas di Festival Film Cannes dan memenangkan beberapa penghargaan internasional karena keberhasilannya memadukan horor dengan elemen thriller.
Film horor Asia seringkali mempengaruhi budaya pop global. Contohnya, sosok hantu dengan rambut panjang yang menutupi wajah, seperti Sadako dari Ringu, telah menjadi ikon horor global yang sering diadaptasi dan parodikan di berbagai media.
Menurut laporan Southeast Asia Media & Entertainment Market, pasar film di Asia Tenggara, termasuk Indonesia dan Thailand, menunjukkan pertumbuhan yang signifikan, dengan genre horor menjadi salah satu pendorong utama. Film seperti KKN di Desa Penari (2022) dari Indonesia berhasil meraih lebih dari 10 juta penonton, menunjukkan antusiasme yang tinggi terhadap genre ini.
Horor Asia terus berkembang dengan naratif yang kuat dan inovasi yang berani. Film-film seperti Train to Busan (2016) dari Korea Selatan, yang menggabungkan elemen horor dengan drama sosial, menunjukkan bahwa genre ini tidak hanya tentang menakut-nakuti, tetapi juga bisa menyampaikan pesan-pesan sosial yang mendalam.