Mohon tunggu...
Ahmad R Madani
Ahmad R Madani Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis lagu, buku, komik, dan skenario film. Alumni ponpes Jombang, Bogor, dan Madinah. Menikah dengan seorang dokter. Menulis fiksi, film, religi, dan kesehatan. Semua akan dijadikan buku. Terima kasih sudah mampir.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cermin Wajah yang Terkoyak

1 September 2024   11:39 Diperbarui: 1 September 2024   15:02 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.freepik.com/premium-ai-image/person-looking-into-cracked-mirror-with-fractured-reflection

Di sebuah kamar yang temaram, Arjuna duduk terpaku di depan cermin besar yang tergantung di dinding. Cermin itu berkilauan samar, memantulkan bayangan wajahnya yang penuh keraguan. Cermin itu bukanlah sembarang cermin; ia seolah hidup, menyimpan ribuan rahasia yang Arjuna tak berani ungkapkan pada siapa pun, bahkan pada dirinya sendiri.

Setiap malam, Arjuna datang ke cermin ini, seolah-olah di sanalah jawaban atas semua pertanyaan yang mengganjal hatinya. Namun, malam ini berbeda. Ada sesuatu yang lebih mencekam, sesuatu yang telah lama bersembunyi di balik wajah-wajah yang ia kenakan.

Arjuna, bagi dunia luar, adalah pria sempurna. Di mata keluarganya, ia adalah anak yang berbakti. Bagi istrinya, ia adalah suami yang penuh cinta. Di tempat kerja, ia adalah karyawan teladan, selalu siap menolong dan tak pernah mengeluh. Namun, di balik segala kesempurnaan itu, Arjuna menyimpan sebuah rahasia yang tak dapat ia bagikan---rahasia tentang banyaknya wajah yang ia pakai seperti topeng-topeng, yang selalu ia kenakan untuk menyesuaikan diri dengan ekspektasi orang lain.

Malam itu, bayangan bulan menyusup ke dalam kamar, mempertegas garis-garis wajah Arjuna di cermin. Ia memandang dirinya sendiri dengan mata yang lelah, menelusuri setiap detail wajah yang memantul di cermin. Ia meraba pipinya, alisnya, bibirnya---tetapi sentuhan itu terasa asing, seakan ia meraba kulit orang lain.

Di sebelah cermin itu, tergantung topeng-topeng kayu yang anehnya mirip dengan wajahnya sendiri. Setiap topeng memiliki ekspresi berbeda---ada yang tersenyum penuh kepalsuan, ada yang menampilkan kemuraman yang dipaksakan, ada juga yang tampak seperti tengah memendam amarah. Topeng-topeng ini adalah simbol dari setiap peran yang ia mainkan, setiap kebohongan yang ia ciptakan untuk menyenangkan orang lain.

Dengan hati yang terasa berat, Arjuna meraih salah satu topeng itu dan menempelkannya di wajahnya. Dalam sekejap, ia berubah---wajahnya tampak tersenyum hangat, namun matanya kosong. Ia menatap cermin dan melihat bayangan seorang pria yang tampak bahagia, tetapi di dalam dirinya, Arjuna tahu itu hanya ilusi. Ia telah terlalu lama memakai topeng-topeng ini hingga ia sendiri mulai melupakan siapa dirinya yang sebenarnya.

Arjuna melepas topeng itu dan menggantinya dengan yang lain. Kali ini, wajah yang ia lihat di cermin tampak penuh kasih, seperti seorang suami yang setia dan pengertian. Namun, di balik topeng itu, Arjuna merasakan kehampaan yang semakin menjerat. Ia melepas topeng itu dengan kasar, melemparkannya ke lantai, lalu menatap wajah aslinya di cermin.

"Siapa aku sebenarnya?" bisiknya dengan suara serak. "Apakah aku hanyalah bayangan dari semua harapan orang lain?"

Namun, cermin itu tetap bisu. Arjuna menutup matanya, mencoba mengingat wajahnya yang dulu---wajah yang ia kenali sebagai dirinya sendiri. Tetapi yang ia temukan hanyalah lapisan-lapisan ingatan tentang topeng-topeng yang pernah ia pakai, wajah-wajah yang bukan miliknya, tetapi telah menjadi bagian dari dirinya.

Dengan frustasi yang memuncak, Arjuna meraba wajahnya sendiri, berharap bisa merasakan sentuhan yang familiar. Tapi yang ia rasakan hanyalah kekosongan. Jemarinya terasa seolah menembus kulit, langsung menuju kekosongan di dalam hatinya. Ia mulai menggosok wajahnya dengan keras, seolah ingin merobek topeng-topeng tak kasat mata itu dari dirinya. Namun, semakin keras ia berusaha, semakin hancur wajahnya, tercerai-berai menjadi potongan-potongan kecil yang tak lagi bisa disatukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun