Musim hujan datang lagi dan ini bulan Desember. Langit yang gelap sejak siang seakan membawa senja untuk datang lebih bergegas. Menjelma seperti tiba-tiba saja, membawa serta bayi-bayi hujan yang kian memekat. Tak sampai hitungan jam hujanpun turun. Dan derai hujan bersaut angin serta-merta meluruhkan satu demi satu dedaunan, yang memang telah menguning.
“Alangkah indahnya jika semua musim adalah musim hujan” suara datar lelaki tua di hadapanku seketika membuatku terperangah. Alangkah ajaibnya! Disaat begitu banyak orang yang merutuki hujan, ia justru menyukainya. Begitu sukanya ia hingga menginginkan semua hari bersimbah hujan.
“Mengapa harus begitu, Pak?” tanyaku penasaran seraya menaikkan risleting jaket hingga ke leher. Hembusan angin yang menerpa teras menambah sensasi dingin yang kurasakan.
“Entahlah…” jawabnya sambil melemparkan pandangan ke halaman, ke arah helai-helai kuning yang menggelincir turun disibak angin. “Tapi setidaknya hujan selalu menghadirkan nuansa yang berbeda, yang jauh lebih tenang dan religius,” lanjutnya lagi.
Kembali aku terperangah. Bukankah hujan justru mengganggu aktivitas? Orang-orang yang tertahan pulang, jamaah masjid yang menurun drastis, dan… satu hal lagi: Ancaman banjir! Lalu dimanakah letak ketenangan dan kereligiusannya?
Belum lagi keherananku lenyap ketika sosok tua itu kembali bersuara, ”Tapi sayangnya, begitu banyak orang yang justru memaknai hujan dengan cara yang salah. Mencacinya, juga berpikir buruk tentangnya.”
Untuk sesaat aku merasa tersindir. Mukaku sedikit memerah. Tapi kesu’udzonanku tak berbalas fakta sebab tak kulihat sedikitpun tuduhan pada wajah itu, wajah yang kini berubah sedih.
“Andai mereka tahu betapa banyaknya rahmat yang diturunkan Allah lewat hujan, lewat tetes demi tetes yang penuh berkah itu. Juga betapa Allah menurunkan sejumlah besar malaikatnya secara khusus, hanya untuk menjemput doa setiap hamba ketika hujan. Adakah keindahan dan ketenangan yang lebih besar dari itu, dari doa yang langsung dijamin oleh Dia Yang Maha Segala? Sungguh sebuah karunia yang tak akan pernah mampu kita reka…”
Kupandangi wajah tua di hadapanku itu dengan diam-diam, dan dengan diam-diam pula sebaris kagum menyesap ke dalam perasaanku. Diam-diam kurenungi lagi segala bijak yang tadi terlontar darinya, dari wajah yang belum lagi genap satu minggu mengontrak kamar di sebelahku.
Baru tiga hari ini aku berinteraksi dengannya. Bermula dari kebiasaan kami yang sama, menikmati hujan yang turun setiap senja –sambil menunggu maghrib- dari teras rumah. Pertama kali bertemu kami sama-sama heran, barangkali juga sama-sama merasa lucu. Bukan apa-apa, waktu itu kami kebetulan mengenakan setelan yang sama persis: Koko putih berpadu dengan sarung kotak-kotak kecil. Juga sama-sama membawa segelas teh hangat. Benar-benar sebuah kekompakan yang menyegarkan. Dan terasa lebih segar lagi ketika, kebetulan lagi, minat pembicaraan kami ternyata juga sama. Tentang kehidupan, tentang masalah-masalah yang sering terjelma dalam kehidupan, juga tentang hidup sesudah hidup. Walau biasanya aku yang lebih banyak menyerap hikmah darinya. Yah, bagaimanapun juga usia memang cukup berperan dalam hal ini. Terutama jika usia itu benar-benar dimanfaatkan secara maksimal!
Mendadak lelaki tua di hadapanku itu menghela napasnya dengan berat, seakan-akan ingin menghirupi semua udara yang ada diantara kami lalu menghembuskan sejauh-jauhnya. Sebuah firasat mendekapku tiba-tiba, memaksa jantungku untuk berderap lebih laju. Tanpa sadar aku menahan napas. Menunggu. Biasanya, setelah ia melakukan itu, sebuah kisah yang sarat hikmah akan mengalir dari lidahnya, setelah terlebih dahulu ia meneguk sisa teh di hadapannya. Dan… dugaanku tak keliru!