Sebagai akun tuyul yang mencoba konsisten serius dalam menggarap tulisan, seringkali saya merasa cukup bangga. Bangga karena saya pribadi merasa, dalam konteks dan ukuran tertentu telah cukup ‘berhasil’ menancapkan kuku yang lumayan kuat pada kanal tertentu yang ada di Kompasiana.
Tapi kebanggaan memang tak akan pernah bisa langgeng, terutama ketika banyak sosok-sosok lain yang saya temui di Kompasiana, memiliki kualitas yang jauh lebih tinggi dari cuma seorang saya.
Untuk urusan tulisan super panjang, Mike Reyssent tak bosan menjejeri saya dengan postingannya yang memakan korban kopi seteko untuk membacanya itu. Walau saya pribadi mengklaim masih memiliki piagam tulisan terpanjang dengan postingan perlit (personal literasi) lebih dari 19 halaman, serta pernah secara mblaur menayangkan separuh novelette cinta dalam kanal fiksi, yang akhirnya sukses menuai komentar ‘bendera putih’ dari pembacanya karena tak sanggup membaca dalam satu tarikan napas, haha… ^_
Mengenai kedalaman filosofi karya, S. Aji dan Sarwo Prasodjo jelas kompasianer yang paling bikin risih mengingat karya buatan mereka seringkali terlalu riuh untuk dibaca hanya sambil lalu, menghasut saya untuk dengan amat terpaksa berkali-kali membaca ulang, lalu dengan mindik-mindik minta izin untuk menyimpan sebagai preparat di laboratorium menulis online yang saya asuh. Alangkah menyebalkannya! :P
Untuk genre puisi, BangDos saya prediksi kelak akan terengah-engah dikepung pegiat muda seperti Andi Wi dan Imam Muttaqin, walau memang untuk bentuk khas BangDos telah menduduki maqomnya dengan sangat mapan. Sementara genre kepenulisan sadis masih dikangkangi oleh Desol, yang kabarnya akan melakukan duet bareng salah satu kompasianers psikopat. Dan kolaborasi unik antara penulis sadis dengan pegiat fiksi psikopat jelas akan mengundang birahi siapapun yang bosan membaca karya mainstream!
Masih kurang? Jasmine menduduki fiksianers terunik sejak saya baru gabung ke K, dengan karya awal yang saya baca, jika saya tak salah ingat “Tuah Mandi Air Jenazah” dan hingga kini masih kuat mempertahankan keunikan yang dia punya. Sementara untuk fiksi liris, setelah absentnya Dewi Pagi, saya lebih suka bertapa di gua milik Andri Sipil dan Lilik Fatimah, walau memang tak semua karya mereka mencerminkan itu, karena penggalian makna serta bentuk seringkali menjebak mereka untuk lebih berhasrat menelusuri bentuk-bentuk yang ada demi menggali potensi diri, yang seringkali terasa patah namun tetap juga menghasilkan karya yang jauh lebih indah di beberapa gaya.
Tapi bukan itu yang membuat saya berani memprediksi, bahwa kelak salah satu kompasianers akan diangkat menjadi ‘orang dalam’ Jokowi!
Jika ada yang masih ingat novel saya yang khusus dibuat untuk Jokowi, yang berjudul “Dongeng untuk Jokowi The Series”, saya melihat ada banyak persamaan tokoh utamanya yang berstatus sebagai ‘Penasehat Presiden Jokowi untuk Bidang Khusus’ dengan para Elite Team Multi Disiplin Ilmu yang tergabung dalam Grup Inboxers-Gocap di K.
Silakan melempar wacana apapun yang tengah membutuhkan analisis mendalam, maka dengan antusias akan langsung disambut oleh Grup Inboxers-Gocap tersebut, dengan berbagai analisisnya yang gratis namun benar-benar tidak murahan!
Dan hal itu telah saya uji kepada salah satu mereka, yaitu ketika saya bertanya, apa atau berapa insentif yang harus saya keluarkan untuk saya bisa memperoleh ‘kajian mendalam’ mengenai tema tertentu yang biasanya saya ulas dalam karya, apa jawaban yang mereka beri?
Gratis!!! Plus penawaran tidak tak terbatas untuk saya mengeksplorasi dalam bentuk tanya sepuas saya, yang saya menduga jika semua itu dirupiahkan sebagai biaya konsultasi sesuai dengan ‘harga profesionalisme’ yang mereka punya, maka dapat menimbulkan biaya yang cukup membebani arus cashflow saya yang memang agak terbatas akhir-akhir ini.