Sebagai penikmat wanita, aeh… maksud saya penikmat kutak-katik kata, sebelumnya saya tak pernah tergiur sedikitpun terhadap yang namanya flash fiction alias fiksi mini, karena saya berpendapat sastra adalah sebuah ‘pelepasan’, yang tentu saja tak boleh dikhianati oleh sekedar pembatasan jumlah kata serta aturan main yang lainnya. Sebab jika itu yang terjadi, namanya bukan pelepasan melainkan pengungkungan…^_
Hingga akhirnya di selasar Kompasiana, saya melihat banyak sekali postingan fiksi berawalan [FAPI] di depan judul, yang ber-pradaksina secara amat ajaib, yang langsung membuat membuat mata sipit saya kian sepat kriyap-kriyep tak karuan.
Iseng, saya klik beberapa. Ternyata even fiksi. Waini…!
Akhirnya, tanpa tahu hadiahnya serta apa saja aturan mainnya, saya latah turut nyemplung dan langsung berkubang kata bersama peserta yang lainnya. # Serasa jadi kerbau, eh…^_
Tapi masalah kemudian muncul ketika saya coba mengulik karya beberapa peserta, hanya demi mengetahui makhluk ghaib apa sih fiksi mini itu sebenarnya?
Hasilnya? Baru dapat bingungnya, doang, kawan, karena dari sample yang ada saya tak menemukan bentuk utuh seperti apa sebenarnya creature hasil kesepakatan manusia yang bernama fiksi mini tersebut. Ada yang terlihat sama seperti cerpen biasa, ada yang serupa outlines dan atau penggalan cerpen, bahkan ada pula yang mirip humor seperti yang banyak berkeliaran di perkampungan maya.
Akhirnya kembali saya kelayapan ke tetangga sebelah. Dan bersualah yang seharusnya ketemu.
Ooh… Jadi kayak begini toh wadag kasar dari yang namanya fiksi mini…? Gumam saya sambil anggut-anggut layaknya burung ocehan dicetrekin jempol dan telunjuk sama pemeliharanya.
Dan anggut-anggut saya semakin jarang terayun seiring dengan habisnya beberapa laman yang menyajikan kudapan tentang fiksi mini, lengkap dengan beberapa contohnya, yang langsung mengusir anggat-unggut saya seketika itu juga lalu berbalik mengundang begitu banyak deretan decak, “Wuih…!” buah keheranannya.
Betapa tidak? Tak seperti ayam cebol yang tampak wagu walau lucu akibat keterbatasan fisiknya, fiksi mini justru sebaliknya: Melebarkan sayap kalimat dengan justru mengecilkan jumlah katanya, What a wonderful word…!!!
Dari banyak laman hebat itu pulalah akhirnya saya suntuk sebagai murid –walau tentu saja tanpa kantuk seperti yang biasanya menjadi tren menular di kalangan anak sekolahan- yang coba mati-matian membangun imajinasi tentang sastra yang lebih terkini, dalam bentuk yang lebih mini, serta -saya pikir: Lebih efektif dan efisien dalam mengolah kata tanpa perlu banyak bemasturbasi huruf, hanya demi menghadirkan latar kisah dengan rangkaian kalimat yang tak diperlukan.