Saya sempat banyak keki ketika karya sastra beberapa waktu yang lalu dibilang "cuma mainan anak kecil yang ga ada artinya" pada sebuah blog keroyokan oleh mereka yang bukan jurnalis sejati tapi gayanya ‘terlanjur’ terlalu tinggi.
Tapi sebagai seorang yang kalem dan pemalu, saya hanya diam. Hanya sempat teringat Seno Gumira Ajidarma yang pernah mengatakan "Ketika Jurnalisme Dibungkam: Sastra Harus Bicara" melalui buku kumpulan eseinya pada tahun 1997, yang saya amat yakin tak pernah terbaca oleh nalar pintar mereka.
Selain Sepotong Senja untuk Pacarku (2002) yang bercorak realisme magis atau fantastik, Seno juga memproduksi buku kumpulan cerpen Saksi Mata (1994), yang disebut-sebut sebagai salah-satu karya Seno paling monumental yang bercorak realis.
Kumpulan cerpen berlatar belakang "fakta kekerasan" di salah satu wilayah negeri ini, tentu saja merupakan salah-satu siasat Seno ketika dia dihadapkan kenyataan bahwa pada masa itu "jurnalisme dibungkam", yang ditandai dengan dibebas tugaskannya beliau dari jabatan Redaktur Pelaksana ‘Jakarta Jakarta’ di awal tahun 1992, berkaitan dengan pemberitaan tentang "insiden kekerasan Dili" pada tahun 1991.
Dan membaca karya-karya beliau waktu masih belia dulu, saya seperti diseret ke dunia aneh yang tak pernah terjangkau logika kemanusiaan namun faktanya memang pernah terjadi di alam nyata, dalam bentuk jalinan kisah –yang meminjam istilah pengantar penerbit buku itu: "konflik berdarah, teror.. dan kesepian mencekam."
Tapi pertanyaan yang paling menggelitik saat ini bukanlah: “Apakah dalam situasi yang seperti sekarang, kita masih relevan menggunakan medium sastra untuk menyampaikan fakta politik?”
Bukan karena situasi politik Indonesia sekarang ini "lebih kacau dan tak genah", hingga musuh yang dulu hanya satu dan bahaya mengintai dari pintu yang jelas, di era sekarang lebih menekan perasaan untuk selalu tak yakin tentang siapa lawan dan siapa pula kawan.
Bukan itu, melainkan karena memang ada beberapa keplakan yang beredar di linimasa saya dari seorang kritikus sastra muda bernama Narudin Pituin, pada beberapa jam yang lalu.
Pada dinding mayanya, Narudin Pituin menyebut secara kejam beberapa penyakit sastra di tanah air yang harus lekas dibasmi, seperti:
- Juri Lomba Karya Sastra yang Sok Kompeten, padahal mereka sendiri masih bingung dalam mengidentifikasi dirinya saat ini dalam sastra.
- Kritikus Palsu, yaitu sosok yang asal banyak mencaci karya sastra orang tanpa ia sendiri menulis karya sastra.
- Nepotisme Sastra, menang lomba karya sastra karena faktor teman lama padahal karyanya belum patut.
- Politik Uang Sastra, yang ketika dibayar sedikit saja langsung berubah haluan/jatuh wibawa kemanusiaa
- Keliru Menilai Karya Sastra, dengan penentuan mana karya yang baik dan mana yang buruk lebih ditentukan selera pribadi yang amat jelas terlihat ‘super murahan’.
- Redaktur Sastra Media Massa, dan atau Penjaga Gawang Kolom Sastra dan atau Fiksi Di Media Apapun, yang asal-asalan serta tak becus menilai karya sastra atau dikotori kepentingan politik golongan, serta masih banyak lagi, yang akhirnya saya cukupkan hanya sampai ini saja.
Membaca posting singkat Narudin yang jujur dalam kesadisannya itu, saya langsung berharap memiliki beberapa pasang kacamata kuda saat itu juga, agar tak lagi gatal tengok kanan-kiri menafsir tulisan teman –baik fiksi maupun non fiksi- melainkan fokus untuk terus berkarya dan berkarya dan: BERKARYA.
Apakah karya saya kemudian berubah aliran menjadi penuh lendir dan berbau selangkangan agar bisa lebih dilirik admin K untuk kemudian tak perlu waktu lama dijebloskan ke kanal kilau juga HL?