“Tidak!” kutatap remaja tanggung di depanku dengan gundah. Dadaku bergemuruh, marah bercampur kecewa.
“Tapi, Bang…”
“Tapi apa…?! Apakah dengan cara seperti ini kau ingin memulainya? Inikah zakat yang kau maksud itu…? Yang ingin kau ambil paksa dengan alasan Bos Kadut tak pernah bersedekah kepada siapapun? Jangan berani-berani menyimpulkan agama hanya demi kepentinganmu sendiri…!!!”
“Ta-tapi, B-Bang…”
Setelah menghela nafas, kutepuk perlahan pundak remaja itu. Pandangku berkeliling, menaksir total rupiah yang kudapat jika tumpukan kardus serta segala rombengan yang ada di lapakku ini kuborongkan ke Pabrik. Sekilas kulihat badik bergagang hitam yang tadi hendak dipergunakan Andi untuk membobol gudang.
“Sudahlah…” hiburku, kali ini dengan suara yang jauh lebih sabar. “Akan Abang usahakan agar besok uangnya sudah ada…”
Tap…pi…Ba..ang…” kembali remaja itu tak mampu menyelesaikan ucapannya. Matanya terlihat berkaca-kaca.
Setelah remaja itu tertidur, giliran kepalaku yang pening. Bagaimana cara menyediakan uang untuk pendaftaran kuliahnya besok? Atau haruskah ia terus selamanya di sini, menjadi pemulung, sementara kesempatan untuk memperbaiki nasib telah datang menjemputnya?
***
Esoknya, hampir seluruh media lokal memberitakan hal yang sama, tentang tertembaknya seorang pria muda saat menguras gudang penyimpanan tekstil. Sebuah badik tergeletak di samping mayatnya yang bersimbah darah. Gagangnya berwarna hitam.
“Jika bukan aku, siapa lagi yang harus masuk neraka?”.