Cinta Menari di Gerimis Pedang
“Bahkan jika kau benar-benar penjahat kejam yang akan membunuhku usai menolongmu, aku akan tetap menolongmu dan siap untuk bertaruh nyawa. Tapi jangan harap aku mandah untuk dibunuh begitu saja. Aku akan melawanmu dengan segenap kemampuan yang kupunya.”
“Mengapa?” heran Bay.
“Karena kita memang tak perlu mencari alasan untuk…”
(Postingan tamu dari Kompasianer Nisrina, saya bagian finishing touch sisi silat dan puisi penutup. Selamat menikmati…^_).
***
Semua tentangmu
adalah pilu
Semua tentangmu
adalah ngilu
terus berusaha, kaubilang
karna usaha ini takkan begitu saja hilang
semua tertuang
dalam buku catatan amal kita kelak saat telah berpulang
(Asa yang Tak Redup #Nisrina).
Luput dari Kematian.
Bay merasa seperti ada petir yang menggelegar di tengah benak ketika sebuah tumbukan menghantam belakang kepalanya. Kakinya tak lagi kuasa menahan beban tubuh, sebelum semuanya berubah menjadi gelap. Hitam.
Entah berapa lama Bay tak sadarkan diri, ketika lamat-lamat dia seperti mendengar suara kim dipetik dengan nada yang amat sendu lalu sunyi kembali, berganti dengan mengalirnya cairan ke dalam mulutnya. Kadang terasa manis dan berbau harum, walau tak jarang begitu pedas, pahit juga membakar tenggorokan. Hingga suatu ketika ia merasa tubuhnya segar luar biasa.
Perlahan dia membuka mata. Tapi pemandangan di hadapannya langsung membuatnya terkesima.
Alangkah cantiknya patung wanita yang ada di hadapanku ini, bathin Bay. Ditatapkan patung cantik itu dengan sorot mata yang amat memuji.
“Akhirnya kau sadar juga.”
Agak terlonjak Bay mendengar patung yang tengah dikaguminya itu berbicara, membuatnya kembali tertegun untuk beberapa saat, sebelum akhirnya kesadaran menyeret nalar untuk kembali bekerja.
“Ah, maafkan ketidak sopanan cayhe… cayhe pikir Inkong sebuah patung hingga cayhe berlaku amat tidak sopan,” rikuh Bay langsung mengalihkan tatapan ke arah lain, membuat nona di depannya tertawa kecil. Dan nona itu kembali tertawa ketika perut Bay tiba-tiba mengeluarkan suara khas pertanda lapar.
“Makanlah dulu. Sudah tiga minggu kau tak sadarkan diri,” tawar si nona seraya menunjuk meja di samping Bay.
Ikan asin, sayur lodeh, beberapa jenis lalapan segar serta sambal rawit yang masih berada di atas cobek tertata apik di meja yang terbuat dari pualam hijau tersebut. Benar-benar hidangan yang amat menantang rasa keperutan Bay.
Tanpa sadar Bay menelan ludah, membuat si nona kembali tertawa sebelum akhirnya melangkah ke luar.
“Jangan sungkan, aku sudah makan dua menit yang lalu,” ucap si nona dengan senyum dikulum, sesaat sebelum melewati pintu ruangan.
Sepeninggal si nona, Bay langsung menyantap hidangan dengan rakus, hingga tak butuh waktu lama untuk semua benda menggiurkan tersebut pindah ke dalam perutnya.
“Alhamdulillah ‘ala kulli hal,“ gumam Bay sambil mengelus perutnya yang bahagia. Dan kebahagian perutnya semakin lengkap ketika mengetahui bahwa cawan yang disediakan ternyata berisi teh tawar hangat dengan harum melati yang amat lembut. Hmm… Sluuurrrppp.
Setelah puas makan, Barulah Bay merasakan nyeri di punggung tangan. Dibukanya perban yang melilit, ditekan-tekan mulut luka yang mulai merapat itu, untuk kemudian kembali bersyukur sebab jika dia tak ditolong oleh si nona entah siapa itu, niscaya racun pukulan berbisa di lengannya akan langsung menyeretnya ke alam baka kurang dari satu jam!
Segara Bay bersuillan dan mengerahkan hawa murni guna menggiring sisa racun di lengan, untuk kemudian mengeluarkannya secara amat perlahan melalui ujung jari yang biasa dipergunakan untuk memberi vote ke teman-teman maya.
Bau busuk luar biasa menguar memenuhi ruangan ketika proses detoksifikasi tersebut berjalan, membuat kepala Bay sedikit pening terpapar hawa beracun yang menguap. Baru setelah sepeminum kopi lamanya sisa racun yang ada di lengan musnah, membuat Bay semakin khusuk bersemedi hingga berada pada keadaan tidak sadar sama sekali.
***
Kopi Peram, Waktu Indonesia Bagian Segar.
Creng! Creng!
Petikan khim yang melengking mengembalikan kesadaran Bay dari suillannya, membawa serta pendar keemasan matahari sore yang memancar dari jendela di samping pembaringan.
Perlahan Bay bangkit, berjalan menuju asal suara khim yang terdengar kian tinggi dan melengking, mengingatkan Bay pada lolong anjing yang terkaing-kaing kesepian. Mulutnya tak henti-hentinya berdecak melihat kehebatan arsitektur yang terpahat pada lorong batu yang dilaluinya itu, yang siapa sangka hanya sebuah gua yang menjorok pada sisi sebuah tebing curam?
Hup! Bay melompat dari mulut gua dengan gerakan Tak Ada Bayang Tanpa Cahaya yang merupakan gerakan dasar dari Langkah Bayangan Mengejar Sinar andalannya. Tubuhnya melayang seringan kapas, untuk kemudian mendarat halus di tanah berumput tanpa menimbulkan suara sedikitpun.
Tapi suara khim mendadak berhenti, bersamaan dengan lambaian tangan nona penolongnya yang duduk menyanding khim di tepi danau, membuat Bay terperanjat dengan kemampuan si nona dalam mendeteksi gerakan. Padahal waktu melompat tadi dia telah mengeluarkan ginkang sebesar delapan bagian, yang bahkan pendekar kelasa wahidpun belum tentu mampu mendeteksinya.
“Mari minum bersama,” tawar si nona melemparkan buli-buli yang disandingnya, membuat Bay kembali terkesiap sebab kecepatan serta tenaga yang menyertainya tak kalah dari sebuah amgi.
Tak sempat mengelak, Bay menggerakkan tangan setengah melingkar di depan dada, untuk kemudian menyelentik ke depan dengan jurus Menyentil Koruptor Keluar Grup yang pernah dipelajarinya secara tak sengaja dari kitab kuno aliran Chin Yung.
Trak! Jari Bay terasa agak ngilu tergetar tenaga dalam yang menyertai buli-buli. Sementara di tepi danau, tubuh si nona sedikit bergerak menerima arus hawa sakti selentikan Bay yang menghantam balik, membuat keduanya sadar bahwa iwekang mereka setanding tingkatannya.
Buli-buli melayang kembali ke tempat asal, berbarengan dengan tibanya tubuh Bay di hadapan si nona.
“Maaf, inkong, agama cayhe melarang minum arak,” tolak Bay halus sambil mengibas jari yang digunakan menyelentik tadi untuk mengurangi rasa ngilu.
“Langkah Bayangan Mengejar Sinar…!” seru si nona agak terkejut. “Ternyata kau yang bernama Bay,” ucap si nona antusias, membuat Bay berbalik melengak.
“Dari mana Inkong mengenal nama cayhe? Bukankah kita tidak pernah bertemu sebelumnya?”
Bukannya menjawab, si nona justru memandangi tubuh Bay dari atas ke bawah, membuat Bay merasa agak tak nyaman.
“Dari sebuah situs tempat berkumpulnya pendekar gaul negeri ini, kudengar ada seorang Kompasianer tengil yang membuat Cerita Silat Semau Gue yang usil menyentil. Ternyata kau yang menjadi tokoh utamanya,” kembali si nona memandangi Bay seperti ingin membedah tubuhnya dan meneliti jeroannya satu demi satu. “Dan kemampuanmu ternyata bukan sekedar omong-kosong belaka,” lanjutnya.
“Ah, cayhe cuma beruntung kebagian menjadi pemeran pembantu, mendampingi Dayat sebagai tokoh utama yang masih berusia remaja,”elak Bay merendah sambil menceritakan even menulis yang pernah diselenggarakan Rumpies The Club di Kompasiana yang bekerja sama dengan Penerbit Mizan.
“Ooh… Personel band STANZA itu ya? Bisa juga seperti itu. Hanya saja agak terasa aneh bila tokoh utama menghilang tak tentu rimba,” timpal si nona dengan intonasi yang kurang percaya.
“Cayhe pikir Inkong tak usah memepermasalahkan takdir tersebut. Biarlah itu menjadi urusan sang dalang, karena bagaimanapun juga, kita tak lebih dari sekedar wayang yang hanya butuh untuk melaksanakan semua peran dengan sebaik-baiknya,” jawab Bay dengan setengah berfilosofi.
Sejenak Nina tercenung mendengar paparan Bay.
“Kau benar, Bay, kita memang cuma wayang di postingan ini. Begitu juga pengarang dan para tokohnya, yang tak lebih hanya lakon di kehidupan dunia nyata yang amat fana,” ucap Nina dengan wajah yang agak masygul, sebelum kembali melanjutkan ucapannya, “Tapi by the way, bisakah kau tak lagi memanggil inkang-inkong segala macam kepadaku?”
Bay menggeleng ragu.
“Inkong telah menyelamatkan cayhe dari kematian, mana berani cayhe bersikap kurang hormat dan tak memiliki liangsim?” ucap Bay dengan penuh hormat serta perasaan berterima kasih yang mendalam.
“Tapi tahukah kau, Bay, bahwa di negeri ini, ucapan inkong berhomofon dengan kingkong. Juga penggunaan cayhe sebagai pengganti saya, yang sejak tadi membuat gatal otakku karena membayangkannya sebagai persilangan antara cabe dengan jahe,” kikik si nona, membuat Bay menggaruk rambut gondrongnya yang tak gatal karena turut merasa geli mendengar guyonan si nona yang lincah menggoda.
“Baiklah In… eh, Nona…”
“Juga tidak perlu bernona-nona seperti inlander,” kembali si nona tertawa.
“Tapi… cayhe… ehm… saya harus memanggil apa?” bingung Bay.
“Huuu… bilang saja ingin berkenalan,” jawab si nona sengaja mengerjapkan sebelah mata, menyulap Bay menjadi seperti remaja ingusan yang amat perikuh.
“Panggil aku Na saja,” saran si nona.
Bay mengangguk grogi.
“Eh… Kau bisa bermain saron, Bay?” tanya Na dengan amat tiba-tiba. Dan tanpa menunggu jawaban, Na langsung menyodorkan sebuah benda tanggung berbentuk prisma kepada Bay, membuat Bay mau tak mau menerimanya.
“Kita nge-Jam Session,” ajak Na, yang langsung memetik khim dengan cara dikocok
Ah, dangdut, pikir Bay bingung, sebab aslinya dia kurang menyukai musik yang sejatinya amat merakyat itu.
Creng! Creng! Creng…! Cring-cring.
Demi menghormati nona penolongnya, Bay mencoba berkonsentrasi untuk mengetahui lagu yang di bawakan si nona. Rupanya refrain ‘Susis- Suami Siyeun Istri’nya Si Sule OVJ.
Tapi baru saja Bay ingin menutuk saron mengiringi, ketika tahu-tahu kocokan khim berubah gaya menjadi medley dan membawakan lagu yang lainnya, membuat Bay nyengir bego sebab kali ini Nina membawakan lagu ‘The Memori Will Remain’nya Metallica, masih dengan gaya kocokan versi dangdut yang serupa tadi.
Seketika darah muda Bay bangkit. Diketuknya saron dengan notasi mengikuti nada yang dimainkan Na.
Ting-ting-tong… tong-ting-ting… tong-ting-ting-ting-tong-ting-tong…
Lirik kembali berubah. Kali ini Na membawakan lagu daerah berjudul ‘Kodok Ngorek’ dan ‘Pilak Bunder Melong-melong’, yang disambung dengan ‘Wak-wak Gung’ serta ‘Anak Gembala’nya penyanyi cilik Tasya yang kini tak lagi cilik itu, dengan petikan kecapi yang mulai bernada pop ceria khas kanak-kanak, yang tetap diiringi Bay dengan gairah bermusik yang tambah menggelora. Hingga suatu ketika, Nina memetik kecapinya dengan irama yang amat aneh, merintih tapi sekaligus juga menderu, yang disusul dengan nada patah-patah yang lembut menawan.
Terbawa emosi musik, tanpa sadar Bay melempar saron yang diketuknya lalu bangkit dan mendeklamasikan sebuah sajak penuh kerinduan yang meletik-letik, dengan sepenuh perasaan.
kau beri aku sepiring puisi tentang sepi
sambil diam-diam berharap dapat meredam galau di hati
yang telah lama terasa nyeri
yang kusangka telah hampir mati
"Usah khawatir, aku milikmu, tak kemana," ucapmu
dulu, waktu itu
alpa bahwa waktu
seringkali memiliki kehendaknya sendiri
lupa bahwa situasi
kerapkali jadikan semua tak lagi sehati
aku benar-benar tak tahu jalan pulang... !!!
aku benar-benar tak mengerti
kemana mesti kembali
dan aku: benar-benar tak paham setitikpun lagi
ke mana harus pulang
ke siapa mesti kembali
selain cuma memaknai hari
dengan sedih di dada sendiri
Creng! Creng! Cring…!
HAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA…!!!
Bay berteriak sekuat tenaga, mencoba melepaskan semua resah jiwa yang telah amat lama menyinggasana di dalam dada. Beberapa kelompok burung terbang serabutan mendengar gema teriakannya.
Kesunyian merezim. Tapi kesunyian yang anehnya membawa begitu banyak damai di hati Bay. Kesunyian yang entah mengapa membuat titik tertentu di bagian dadanya terasa plong.
“Bagaimana, Bay, kau merasa ada yang aneh dengan tantiam di antara ginjal dan hati?” tanya Na setelah beberapa waktu berlalu dalam diam.
Bay mengangguk heran. “Bagaimana kau bisa mengetahuinya?”
Tapi bukannya memjawab, Na justru mengajak Bay kembali duduk, dan bertanya tentang tema yang sama sekali tak ada hubungannya.
“Kau pernah mendengar tentang kopi peram?”
Bay menggeleng.
Na meneguk sedikit isi buli-buli dan mengangsurkannya kepada Bay.
“Cobalah… manfaatnya amat besar bagi kesehatan bathin,”
“Ini bukan berisi tuak?” Bay masih ragu, sementara Na hanya mengangguk sambil tersenyum.
Bay membuka tutup buli-buli dan meneguknya sedikit. Tapi begitu isi buli-buli mengalir di kerongkongan, sontak Bay menenggaknya dengan amat bernafsu.
“Ahhh… Kopi yang amat segarrr…!!!” teriak Bay bersemangat seraya menjilati tetes yang membasah di bibirnya. Sementara Na hanya tersenyum melihat lagak Bay yang agak lebay.
“Kopi peram ini diracik dari biji pilihan, yang dicampur dengan beberapa tumbuhan beracun yang amat ganas dari sejenis bunga bernama Cinta Yang Menggebu Terlalu Dini, Rumput Kerinduan Penghancur Konsentrasi serta Akar-Bahar Dusta Kehidupan dan sedikit saripati Akik Bacan,” terang Na, yang langsung membuat wajah Bay sepucat mayat.
“Jangan khawatir, Bay, aku tidak meracunimu. Karena perpaduan antara racun dengan racun pada beberapa keadaan justru menghilangkan sifat racunnya, dan berubah menjadi ramuan yang jauh lebih unggul dari jinsom berusia ribuan tahun atau Jintan Langit yang terkenal sebagai mustika ajaib dunia persilatan itu,” lanjut Na. “Sekarang, coba kau semedi dan serap semua kebaikan dari kopi peramku itu.”
Bay mengangguk dan langsung mengerahkan hawa murninya secara zig-zag ke seluruh nadi yang ada di tubuh. Tapi pada nadi yang terletak antara hati dan ginjal, Bay merasa kurang lancar, seperti ada suatu arus kuat yang coba mementahkan sentakan hawa murninya hingga terpental kembali ke pusar.
Beberapa kali Bay mencoba, namun tetap saja gagal. Bahkan kini tubuhnya bergetar hebat hingga hampir ngusruk ke depan dan terjengkang ke belakang.
Bay hampir tak tahan ketika akhirnya sebuah telapak tangan yang lembut menyangga di punggungnya, dan mengalirkan suatu arus tenaga yang kuat dan hangat secara amat perlahan.
Dengan gabungan hawa murni tersebut, akhirnya Bay berhasil mendobrak sekat di tantiam antara ginjal dan hatinya, dan menjinakkan arus tenaga yang tadi menyerangannya dengan amat liar. Masih beberapa kali Bay mengarahkan hawa murninya secara zig-zag menelusuri tubuh, sebelum akhirnya dia mengakhiri suillan dan bertabik berulang kali kepada Na, yang disambut Na dengan menyingkir ke samping sebagai penolakan.
“Terima kasih banyak atas bantuanmu, Na.” ucap Bay dengan terharu, yang dijawab Na hanya dengan tersenyum.
***
Pelajaran Terbaik dari Na.
“Mengapa kau berkali-kali menolong saya, Na?” tanya Bay, sesaat setelah mereka duduk kembali.
“Mengapa kau mempertanyakan hal itu, Bay?” Na balik bertanya. Ada kernyit kecil yang membayang di ujung keningnya.
“Saya hanya ingin tahu alasanmu, Na, karena kau telah melakukan begitu banyak kebaikan untuk saya, padahal kita belum pernah saling kenal sebelumnya.”
Tapi bukannya menjawab, Na justru kembali bertanya.
“Kau percaya adanya Tuhan, Bay?”
Bay mengangguk dengan agak heran, karena pertanyaan Na tak memiliki korelasi sedikitpun dengan pertanyaan awal yang dia ajukan.
“Kau menyembah-Nya?” kembali Na bertanya, dan kembali Bay mengangguk, dengan rasa heran yang kian bertambah besar.
“Apakah kau menyembah-Nya hanya demi memperoleh pahala dari-Nya? Demi mendapatkan surga-Nya? Atau demi terhindar dari sebuah keadaan buruk yang bernama: Dosa? Yang kau khawatir karenanya menjadikanmu terlempar ke api neraka?”
Bay mengangguk dengan agak ragu.
“Pernahkah kau berpikir, Bay? Jika saja tak ada dosa maupun pahala, jika memang tak ada surga dan neraka, masihkah kau bersedia untuk menyembah-Nya? Menyembah yang benar-benar murni hanya demi menyembah… tanpa embel-embel apapun?”
Kali ini Bay tak mengangguk. Benaknya dipenuhi pertanyaan yang baru saja dilontarkan oleh Na.
Ya, jika memang tak ada pamrih atau aturan apapun, jika memang tak ada lagi tujuan serta punish dan reward di dalamnya, akankah saya tetap menyembah-Nya? Tetap menyembah Dia Yang Maha Segalanya… hanya demi menyembah semata? Hanya demi penghambaan yang utuh kepada Sang Maha Raja Semua Makhluk? Hanya demi cinta tanpa syarat syukur ataupun khawatir? Hanya demi Cinta yang bulat utuh kepada Sang Maha Cinta…?
Masih dengan tersenyum kembali Na berkata, “Kau bertanya, kenapa aku menolongmu… Apakah harus ada alasan untuk kita menolong orang lain, Bay? Karena ingin mendapat pahala? Karena ingin dipuji manusia? Atau karena berharap dengan menolong orang, kelak akan ada yang balas menolong kita bila suatu saat butuh pertolongan? Tak bisakah kita benar-benar ikhlas dan bersih dari pamrih ketika menolong orang lain? Menolong yang benar-benar tanpa titip pesan juga tendensi apapun selain sekedar menolong karena ingin menolong…?”
Agak lama juga Bay terdiam, hingga akhirnya kembali bertanya, “Kau tak pernah berpikir, Na, bagaimana seandainya saya adalah orang jahat?”
“Tetap aku akan menolongmu,” tegas Na.
“Walaupun saya misalnya orang terjahat dan terbengis yang pernah ada?”
Sebelum menjawab, Na menatap Bay lekat-lekat, untuk kemudian berkata dengan suara yang tak sedikitpun mengandung keraguan.
“Bahkan jika kau benar-benar penjahat kejam yang akan membunuhku usai menolongmu, aku akan tetap menolongmu dan siap untuk bertaruh nyawa. Tapi jangan harap aku mandah untuk dibunuh begitu saja. Aku akan melawanmu dengan segenap kemampuan yang kupunya.”
“Mengapa?” heran Bay.
“Karena kita memang tak perlu mencari alasan untuk berbuat baik, Bay. Karena setiap manusia terlahir dengan fitrah yang baik dan suci.”
Kagum luar biasa Bay akan uraian yang dikemukakan Na. Tapi ia masih ingin mencoba.
“Tapi jika benar seperti itu, mengapa justru ada begitu banyak orang jahat di dunia ini?”
Sepeti paham maksud Bay yang ingin mengujinya, Na tersenyum lembut, membuat Bay untuk sekejap merasa malu sendiri.
“Tidak ada manusia yang benar-benar jahat atau baik di dunia ini, Bay… karena yang ada hanyalah sudut pandang yang berbeda dari masing-masing mereka,” ucap Na dengan nada yang menutup pembicaraan selanjutnya.
Bay terpaku. Dia benar-benar terpesona oleh begitu banyak pemahaman aneh namun amat logis yang dipaparkan Na, membuatnya sempat berpikir, mungkinkah nona di hadapannya ini bukan manusia? Melainkan makhluk entah apa yang dikirim Tuhan untuk menginstal ulang pemahamannya yang terlalu naïf serta dangkal tentang baik dan buruk, yang selama ini acapkali disikapi secara hitam dan putih semata, dengan menafikan ruang abu-abu bahkan mungkin juga merah jambu atau ungu muda yang terbentang di antara kekontrasannya?
Senja perlahan lesap, menyisakan kegelapan yang mulai mengendap-endap menjemput malam yang pemalu seperti remaja yang baru mengenal cinta.
“Mengerti… Saya mengerti sekarang…” gumam Bay berulang-ulang, lebih kepada dirinya sendiri. Wajahnya gembira luar biasa mengingat betapa kebijaksanaan telah mengguyur deras akal dan bathinnya.
Ketika danau pengetahuan memaksa masuk ke diri seseorang melalui pintu akalnya yang sempit, maka dia akan bersuara. Dan bersuara jelas amat berbeda dengan berbicara. Apakah suaranya membuat orang lain mengerti? Dia tak mau perduli. Apakah suara yang dikeluarkannya berguna? Dia tak mau tahu. Karena dia bersuara bukan demi tujuan tertentu. Karena suaranya tak lebih dari sekedar suara kosong yang dipaksa keluar oleh isi.
Dan Bay bukanlah seseorang yang seperti itu!
***
Cinta Menari di Gerimis Pedang
Hawa pembunuh yang aneh menyelinap dengan amat mendadak, membuat Bay dan Na saling bertukar pandang dengan kening berkerut.
Keduanya bangkit dengan sigap, dan mengawasi sekeliling danau dengan penuh kewaspadaan.
Tapi tak ada pertanda apapun yang mereka temukan yang menunjukkan kehadiran seseorang. Sementara hawa pembunuh semakin tebal menyergap.
Kembali mereka berdua saling menatap dengan penuh keheranan.
Belum lagi keheranan mereka lenyap, ketika arus tenaga yang sangat kuat menghantam dari belakang, memaksa mereka berjungkir balik menghindar.
“Siapa pengecut yang hanya berani membokong dari belakang…?!” gembor Bay dengan amat murka. Sementara Na telah siaga di sampingnya dengan pedang terhunus.
“Kau yang bernama Bay?” sebuah suara serak yang amat tak sedap menimpali gemboran Bay, bersamaan dengan kemunculan sosok tua renta berjubah abu dengan rambut perak sebahu.
Bay dan Na terkesiap, karena kemunculan sosok ini benar-benar tak tertangkap oleh telinga mereka, menandakan ginkang sang pendatang yang tak mudah diukur.
“Benar, aku yang bernama…”
Belum lagi Bay menyelesaikan ucapannya, ketika sosok berambut perak tersebut menyerangnya dengan pukulan yang amat cepat.
Wuzz…! Plak!
Bay terpental ke belakang karena tenaganya kalah kuat, sementara Si Rambut Perak kembali melancarkan pukulan, yang baru setengah jalan berubah menjadi cengkeraman.
“Mati aku!” pekik Bay dalam hati, menyadari bagian dadanya yang terbuka buah gerak tangkisannya tadi, kini hanya berjarak dua cun dari tangan yang hendak mencengkeram.
Tring! Blug!
Bay kembali terlempar. Tapi dia bersyukur tak kurang suatu apapun juga, karena beberapa saat sebelum ajal mengundang, pedang Na menebas tangan yang nyaris mencengkeramnya itu, yang ternyata terbuat dari sejenis logam.
Bay tak bisa lebih lama mengempos, karena dilihatnya Na keteteran melayani jurus-jurus aneh dari Si Rambut Perak itu.
Dengan satu lompatan besar, Bay kembali terjun ke dalam pertarungan, dan menyerang dengan jurus Mobil Listrik Mengapa Bisa Tak Lulus Uji Emisi, berbarengan dengan serangan Na menggunakan gerakan Dari Hujan Ke Hujan Kita Menggigil Bersama.
Tapi walaupun sudah mengeroyok Si Rambut Perak, Bay dan Na tetap saja sukar melawan. Berkali-kali mereka berganti serangan, semuanya kandas di tengah jalan, membuat mereka terdesak ke dinding tebing gua tempat tinggal Na.
Si Rambut Perak kembali menyerang. Kali ini serangannya bukan olah-olah hebatnya. Agaknya ingin menamatkan riwayat mereka berdua seketika itu juga.
Bay memandang Na dengan sedih, merasa bahwa inilah terakhir kali dia bisa melihat nona cantik yang telah menolongnya itu.
“Jangan menyerah dulu, Bay. Kau tahan pukulan tangan kanannya dengan sekuat tenaga, sementara aku akan coba untuk mengutungi yang kiri,” bisik Na dengan tatap mata yang mengandung arti mendalam.
Melihat tatap yang seperti itu, entah dari mana datangnya Bay merasa ada sebuah kekuatan yang memantik semangatnya hingga menjadi amat berkobar.
“Baik. Kita serang berbarengan pada hitungan yang ketiga,” bisik Bay.
“Tiga…!!!” teriak Bay langsung ke hitungan yang disepakati, membuat Na merasa ingin tertawa sekaligus menangis, sebab orang gila mana yang di saat segenting ini masih sempat bercanda?
Bay memapak tinju kanan si rambut perak dengan pukulan Menolak Neraka Mengetuk Pintu Surga, berbarengan dengan kelebat pedang Na menggunakan jurus Bersama Gerimis Menghapus Sedih Yang Mengiris.
Berhasil!
Si Rambut Perak agak kaget ketika gempurannya tertahan. Ia merasa seperti ada dinding ghaib yang menyerap serangannya lalu berbalik menghantam dengan amat telak, hingga tak urung dadanya terasa agak nyeri.
Si Rambut Perak tak percaya bahwa dua anak muda tersebut berhasil mengatasi serangannya. Ia hanya merasa terlalu ceroboh hingga menyerang dengan tenaga yang terlalu ringan. Segera ia mengumpulkan semangat untuk kemudian menerjang dengan lebih dahsyat.
Betapa girangnya Bay dan Na, ketika tahu bahwa serangan gabungan mereka berhasil menolak mundur sang musuh. Maka ketika Si Rambut Perak kembali menyerang, dengan berbesar hati mereka kembali memapaknya.
Tapi kejadian berikutnya membuat hati Bay mencelos. Jurus Kebesaran Pribadi Bukanlah Karena Melulu mengkritisi dipotes oleh cakar Si Rambut Perak, yang dilanjutkan dengan tendangan melingkar ke arah bahu dan kepala Bay dan Na sekaligus.
Dess! Dug!
Bahkan Langkah Bayangan Mengejar Sinar yang super kilatpun tetap tak mampu membuat Bay menghindar sepenuhnya. Pinggang bawahnya sakit luar biasa terhantam tendangan Si Rambut Perak, sementara telapak tangan Na pecah berdarah sewaktu badan pedangnya disodok oleh cakar maut Si Rambut Perak.
Kembali mereka berdua terdesak, hingga pada titik yang paling genting Bay tanpa sadar mengeluarkan jurus Mengapa Doa Tak Kau Ucap Sesungguh Kata dan Na mengiringi dengan Tarian Bianglala Memulas Angkasa.
Lagi-lagi keanehan terjadi. Si Rambut Perak kembali terkaget ketika serangannya punah membentur gabungan jurus milik Bay dan Na.
Sejenak Si Rambut Perak terpaku, untuk kemudian tertawa menggidikkan dengan sorot mata yang berkilat serta otot-otot yang bergemerutuk di sekujur tubuhnya. Agaknya dia telah bersiap mengumpulkan seluruh tenaga yang dimiliki untuk menyerang.
Pada saat yang bersamaan Bay dan Na tengah berunding satu sama lain, sambil menghimpun hawa murni yang mereka miliki, siap untuk menghadapi serangan puncak yang gelagatnya akan segera dilakukan.
“Sepertinya jurus terakhirmu berjodoh dengan rangkaian jurus pedang hujan milikku, Bay, Bagaimana jika kita gunakan sekali lagi untuk melawan serangan Si Rambut Perak,” bisik Na sambil tetap berfokus melihat ke arah musuh.
Deg! Bay terhenyak, tapi langsung tersenyum penuh suka cita.
“Ah, saya memang bodoh, Na. Sudah jelas sebelumnya kita berhasil menahan serangan Iblis Perak itu dengan gabungan pedang hujanmu dan jurus yang saya pelajari dari Kitab Catatan Seorang Sufi, mengapa saya malah tetap tidak menyadarinya?” bisik Bay sambil mengetuk-ngetuk jidat dengan ujung jari. “Tapi entah dapatkah gabungan jurus kita ini akan mampu melawan serangannya.”
“Tak usah berpikir segala macam, Bay, yang penting kita upayakan saja dengan sekuat tenaga,” jawab Na dengan suara lirih yang amat mengandung ketegasan, membuat Bay kagum akan ketegaran jiwa nona di sampingnya itu.
Na menggerak-gerakan pedang dengan jurus Butir Hujan Membasuh Nyeri yang amat gemulai, yang bersambung dengan Tarian Hujan Membias Pelangi. Tubuhnya berpusing di udara, dengan sinar pedang yang berkelebat-kelebat membungkus seluruh dirinya dengan amat menawan, membuat Bay meleletkan lidah melihat keindahan jurus Na yang amat luar biasa itu.
“Masuk, Bay!” seru Na sambil memainkan Gerimis Pedang Menyeka Penjuru Dunia.
Dengan agak deg-degan Bay menyelusup ke dalam tarian pedang Na, khawatir jurus yang dipergunakannya tidak sinkron dengan gerak pedang yang lincah menari itu. Kakinya melangkah zig-zag mengimbangi gerak tubuh Na menggunakan Langkah Bayangan Mengejar Sinar dengan putaran yang berlawanan, sementara tangannya tak berhenti melancarkan pukulan Mencari Rahmat Memohon Syafa’at, yang dilanjutkan dengan Akhlakmu Cermin Ibadatmu serta Bersama Meniti Jalan Menuju Tuhan Tanpa Cacian dengan amat sebat.
Dua tubuh berjajar ke atas secara harmoni, dengan tubuh Bay yang berputar ke kiri di bagian bawah, dan badan Na yang berpusing searah jarum jam satu dim di atas kepala Bay, menimbulkan medan hawa murni yang besar. Sesekali bayangan pukulan dan kelebat pedang memancar ke sekeliling arus tenaga yang membentuk lingkaran itu. Sementara Sosok berambut pirang terlihat semakin menyeramkan. Jubah abunya menggelembung penuh hawa sakti, dengan sorot mata yang berkeredep tak henti-henti. Agaknya telah mencapai puncak dari seluruh kekuatan yang dimiliki.
Si rambut pirang berjalan mendekat. Setiap langkahnya menimbulkan jejak tapak berlubang sedalam lima dim di tanah.
Sambil terus berpusing, Bay dan Na saling bertukar pandang. Bay mengangguk perlahan kepada Na yang tersenyum. Keduanya telah sama mengerti, bahwa pada situasi yang seperti ini, kata-kata tak lagi cukup untuk mewakili perasaan mereka yang entah sejak kapan telah menyatu itu.
Sekali lagi Na tersenyum, yang kembali dibalas oleh Bay dengan anggukan, sebelum keduanya bersepakat untuk mempertaruhkan satu-satunya nyawa yang mereka punya pada serangan yang terakhir kalinya.
Bay dan Na menggempur dengan sepenuh tenaga, berbaengan dengan terjangan maha dahsyat dari Si Rambut Perak, menimbulkan dentuman besar yang menghancurkan segala yang ada di sekitarnya dalam radius lima li…
(Bersambung ke episode 6 yang ‘bernuansa horror’ : Pena Berdarah Mencabik Koruptor, kolaborasi karya dengan Duo Kompasianer Ras Va-Nisrina…^_).
Secangkir Kopi Legenda Silat Indonesia, Babad yang ke-5, Thornvillage-Kompasiana, 26 Sept-015.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H