Trak! Jari Bay terasa agak ngilu tergetar tenaga dalam yang menyertai buli-buli. Sementara di tepi danau, tubuh si nona sedikit bergerak menerima arus hawa sakti selentikan Bay yang menghantam balik, membuat keduanya sadar bahwa iwekang mereka setanding tingkatannya.
Buli-buli melayang kembali ke tempat asal, berbarengan dengan tibanya tubuh Bay di hadapan si nona.
“Maaf, inkong, agama cayhe melarang minum arak,” tolak Bay halus sambil mengibas jari yang digunakan menyelentik tadi untuk mengurangi rasa ngilu.
“Langkah Bayangan Mengejar Sinar…!” seru si nona agak terkejut. “Ternyata kau yang bernama Bay,” ucap si nona antusias, membuat Bay berbalik melengak.
“Dari mana Inkong mengenal nama cayhe? Bukankah kita tidak pernah bertemu sebelumnya?”
Bukannya menjawab, si nona justru memandangi tubuh Bay dari atas ke bawah, membuat Bay merasa agak tak nyaman.
“Dari sebuah situs tempat berkumpulnya pendekar gaul negeri ini, kudengar ada seorang Kompasianer tengil yang membuat Cerita Silat Semau Gue yang usil menyentil. Ternyata kau yang menjadi tokoh utamanya,” kembali si nona memandangi Bay seperti ingin membedah tubuhnya dan meneliti jeroannya satu demi satu. “Dan kemampuanmu ternyata bukan sekedar omong-kosong belaka,” lanjutnya.
“Ah, cayhe cuma beruntung kebagian menjadi pemeran pembantu, mendampingi Dayat sebagai tokoh utama yang masih berusia remaja,”elak Bay merendah sambil menceritakan even menulis yang pernah diselenggarakan Rumpies The Club di Kompasiana yang bekerja sama dengan Penerbit Mizan.
“Ooh… Personel band STANZA itu ya? Bisa juga seperti itu. Hanya saja agak terasa aneh bila tokoh utama menghilang tak tentu rimba,” timpal si nona dengan intonasi yang kurang percaya.
“Cayhe pikir Inkong tak usah memepermasalahkan takdir tersebut. Biarlah itu menjadi urusan sang dalang, karena bagaimanapun juga, kita tak lebih dari sekedar wayang yang hanya butuh untuk melaksanakan semua peran dengan sebaik-baiknya,” jawab Bay dengan setengah berfilosofi.
Sejenak Nina tercenung mendengar paparan Bay.