malam kian larut
mencair
bersama sejuta bayang dan angan
hanya: bercak hitam yang tersisa
puing dari masa lalu
yang tak jua hendak pergi
Â
malam keseribu
dengan cuaca yang tak jauh beda
langitku masih pucat
bersama sinar bintang yang tak hendak
kemilau
Â
malam keseribu sejak
aku melangkahkan kaki-kaki perjuangan sejak
kita tancapkan ikrar
pada jagad kehidupan
tanpa batas, ruang dan waktu
Â
malam ke seribu bersama
sorot mata yang kian sendu bersama
hidup yang tak pernah jadi guru bersama
bayangmu yang terus mengganggu
Â
malam ke seribu bersama semua yang telah
berlalu
ketika kita
ciptakan dunia semu tanpa ragu, penuh mimpi
sejuta keindahan kita sisipkan, sejuta asa
juga cinta
Â
seperti lubang hitam pada angkasa
seperti gula dalam empedu
kala kebenaran merenggut kita
dan semua tak lagi sama
Â
saat itu kita masih bunga
masih embun masih
pelangi masih
mata air pertiwi yang belum terjamah dunia
Â
belum menjelma air mata
belum luka yang menganga
belum
tangis ngarai yang beku dalam keanggunan
Â
malam keseribu bersama simfoni
yang tidak lagi biru
kenyataan semendung air mukaku
mengalirkan hujan deras
dari dua belah jendela hati
yang semakin rabun
menyisakan hanya hitam
hanya sunyi hanya duka
pengisi hari demi hari
Â
malam keseribu
ketika khayalan tentang hidup
menjadikanku hidup dalam lamunan
Â
kenyataan tak hendak berdamai
kenyataan tak hendak tersenyum
kenyataan
tak hendak menghampiriku dengan rengkuhan mesra
Â
kuciptakan dunia baru
menantang dan menentang semua
ayat kemapanan dunia
taqdir dan dogma
dan detak waktu menamparku
melempar dosa dan putus asa
Â
jiwaku terjerembab, tersungkur
menyisakan pahit yang pekat
Â
dalam putus asa kumenggapai, mencoba bangkit
untuk kemudian
terperosok lebih dalam, lebih hina
Â
lembut angin pagi, membuai
mengusap tubuhku yang penuh luka
Â
dalam perih asaku yang semakin getir
kulihat cahaya terang-benderang
dari gunung dari langit dari
laut, dari atap rumahku
Â
silau, kupejamkan mata
selaksa petir menyambar jiwaku
menggugah semangat dan kesadaran
Â
cahaya itu
ada dalam diriku
adalah diriku
semakin terang
dan terang
terus berkilau dengan sejuta pendar
warna-warni
yang sangat indah
Â
dalam keheranan
tubuhku beku tanpa salju
diam
melebihi patung
dan tiba-tiba kesejukan membanjiri
telingaku kuyup oleh keindahan
berbait-bait seruan suci
Â
bergegas kubangkit dari tempat
menjemput hidayah
dengan dekap yang sangat erat
tak ingin kehilangan lagi
Â
kubasuh muka dengan wudhu
kuperbaiki sujudku
yang telah lama tanpa ruh
Â
dalam gelimang air mata
kulebur semua dosa
habis terkikis tanpa sisa
menguap
bersama salam yang terucap
Â
matahari telah menampakkan bentuk sempurnanya, -Nya
ketika dengan bismillah
kembali kumelangkah
mencari kebenaran
diiringi riuh
kicau burung yang bertasbih tanpa jenuh mengagungkan
pencipta-Nya
waktu demi waktu
Â
tanpa menoleh kutersenyum sendu
mengingat jejak dosa yang tertinggal
yang akan terus mengikuti, dan
membayangi setiap langkah
Â
dalam malu kuberdoa, berbisik lirih
izinkan aku mencicipi rahmat -Mu
dan senyum terakhir penghias bibirku
adalah ridha -Mu
Â
Â
Secangkir Kopi ‘Tinta Kepedihan: Ketika Cinta Tak Lagi Sekedar Peluk dan Cium’, Thorn Village-7 Mei 2000
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H