Lanjutan dari artikel Kecerdasan Jokowi Menentang Panasbung yang menjadi Trending Articles di Kompasiana kemarin. Kali ini saya membukanya melalui gambaran tertulis dari Bung Pepih Nugraha, sosok nomor satu di Kompasiana.
Dalam artikel terakhirnya yang penuh gizi tersebut, Bung Pepih menuturkan ‘debat sengit’ antara Jokowi dengan Jusuf Kalla secara apik. Tentang kekurang sregan Pak JK akan rencana Jokowi mengangkat Ibu Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Mulai dari pendidikannya, tatto-nya serta entah apa lagi, yang kesemuanya di-counter Jokowi dengan gaya khasnya yang sederhana namun tak terbantahkan.
Gambaran ini mengingatkan saya pada pengakuan Bu Susi yang banyak dikutip media pada masa awal menjabat, tentang kronologi beliau hingga menjadi orang nomor satu di KKP. Bahwa satu-satunya alasan paling penting yang melatar belakangi beliau dipilih Jokowi hanya satu: "Karena saya adalah orang gila!"
Dengan meminjam bahasa api Bu Susi menjelaskan lebih lanjut tentang kegilaannya, tentang segala macam protes sengitnya terhadap pejabat kelautan terkait mengenai birokrasi serta peraturan ini dan itu yang amat menyurutkan dunia kelautan Indonesia. Juga tentang ‘kenakalan’ beliau menyelundupkan BBM demi bisa tetap mengoperasikan kegiatan kelautan di kepulauan tertentu Indonesia, yang setelah diciduk oleh aparat kepolisian, masih juga menyisakan kisah yang lucu nan miris tentang upaya oknum kepolisian tertentu agar ‘berkong-kalikong’ melalui jalan belakang.
“Saya butuh orang gila yang mau bekerja untuk Indonesia,” ulang Bu Susi menirukan pinangan Jokowi terhadap dirinya. Dalam hal ini saya menduga ada kalimat lain dari Jokowi yang belum diekspos Bu Susi. Mungkin kira-kira seperti ini redaksinya, “Saya butuh orang gila yang mampu –dan terutama sekali: Mau- untuk menghajar maling-maling ikan sialan itu, tak peduli jika untuk itu dibutuhkan ribuan kati TNT untuk mengebomnya…!!!”
Dugaan tersebut bukan sekedar reka-reka belaka, mengingat pada kesempatan yang lain saya kembali mendapatkan bocoran, bahwa dalam memilih Mentri ESDM-pun Jokowi menerapkan metode yang tak kalah gilanya.
“Gue liatin ade calon nyang lumayan buat ngisi jabatan Tukang Mentri ESDM, nyang dari bangku sekolahannye kaga kalah ame nyang di luar sono. Tapi pas gue tanyain dia berani ape kaga buat ngebubarin Petral, eh… dianya malahan langsung ngacir…!”
Begitu kira-kira ucapan Jokowi versi Betawi, yang kembali menegaskan dugaan bahwa Mentri ESDM yang sekarangpun tak lebih dari Si Gila. Terbukti tak lama kemudian dimulailah gonjang-ganjing pembubaran Petral, yang menyeret ‘orang-orang sakti nan baik hati’ papan atas di era kepemimpinan sebelum Jokowi.
Dengan cara yang sama saya lihat Ahok pun tak terhindar, cuma wayang gila yang seringkali dikoordinasi dari istana guna menyingkronkan kegilaannya. Sebab orkestra paling syahdu yang mampu dimainkan di negeri ini memang cuma ‘Serenada Gila’, dengan bait lagu yang mengisahkan tentang perjuangan para gila menjotos jaringan mafia. Benar-benar sebuah simfoni yang amat menentramkan adrenalin hentakannya, laiknya musik rock yang dimainkan dengan citra rasa langgam Jawa.
Bagaimana dengan Staf Kepresidenan? Sama saja. Kalau beliau masih memiliki sedikit saja elan kewarasan, tentu beliau tak akan mau menjadi tameng yang terus dijadikan sansak pengalih tekanan lingkar parpol waktu itu.
Menteri luar negeri jugakah? Justru kurang gila apa lagi Ibu yang satu ini, yang tak berhenti menggigit siapapun yang coba-coba ‘mencolek’ Indonesia.
Bagaimana dengan Si Anu, juga Si Itu, Atau Si Ono...?
Tetap saja saya sodorkan jawaban yang sama. Lu pikir gue banci pesanan pihak tertentu apa, yang bisanya cuma menerapkan standard ganda bagi tema yang serupa…?!
Tapi merekrut orang gila anehnya tak lantas membuat Jokowi menjadi Kepala Suku yang gila juga, melainkan justru menjelma sosok paling waras yang pernah saya baca. Setelah berlelah-lelah mengumpulkan ribuan khodam sejarah yang gemar bermasturbasi wacana di benak saya, untuk kemudian saya interogasi satu persatu, ternyata jawaban justru menyeruak dari ranah yang berbeda: Dunia persilatan!
Dalam kisah persilatan yang lazimnya penuh liku tersebut, saya temukan Jokowi, tengah berperan sebagai tabib sakti dari tanah Solo. Dari kitab kumal tersebut saya lihat Jokowi dengan amat telaten merawat Sang Guru –Indonesia- yang kabarnya menderita penyakit akut kronis sejak entah berapa dasawarsa.
“Keracunan” gumam Jokowi pelan, sambil membaca ulang 'Kitab Sakti Pengobatan Racun Kegilaan Buah Semburan Ludah Pelaku Sejarah'. Dibolak-balik kembali. Merenung sejenak, untuk kemudian agak lama membolak-balik serta mengocok-obrok buku sakti tersebut, seakan dengan cara itu dapat terlontar solusi pemecah semua masalah.
Hingga pada lembar terakhir Jokowi berhenti. Membaca serius, untuk kemudian menulis resep dengan amat hati-hati.
“Racun dilawan racun. Gila dibalas gila,” hanya kalimat itu yang tertera di resep obatnya, yang setelah selesai menggali ingatan tentang kisahnya, saya temukan kini rentetan tindakan Jokowi melawan kegilaan dengan merekrut orang-orang gila. Benar-benar sebuah kegilaan tindakan yang amat sedap rasa gilanya…!!!
Dan setelah menyelesaikan racikan pertama tersebut, kembali saya peroleh gambaran yang lainnya dari Jokowi.
Masih melalui artikel Bung Pepih pasca makan siang bersama di istana negara, yaitu pada fragmen ketika dengan amat serius Jokowi mengungkapkan adanya desakan sebagian masyarakat agar menyelesaikan kasus pelanggaran HAM seperti Talangsari, Tanjungpriok, 27 Juli, Trisakti dan yang lainnya.
“Perlahan-lahan saya akan sampai ke sana (pengusutan pelanggaran HAM), tetapi prioritas saya ngurusin yang hidup-hidup dulu,” kata Jokowi. Kali ini sangat serius. Membuat saya hampir terjingkrak membacanya.
Ternyata ini tho, resepnya...!
Fokus dan Prioritas. Cuma itu. Tak kurang dan tak lebih. Alangkah sederhananya!
Tapi kesederhanaan akan langsung menjelma amat rumit ketika kita coba menerapkannya di negeri ini. Terutama pada masa begitu terkenalnya filosofi tingkat tinggi, “Jika memang bisa susah, kenapa harus dibuat lebih mudah…?” yang pernah diramu oleh kumpulan Jin Tomang serta entah berapa banyak Hantu Belao yang waktu itu berkuasa.
Akhirnya, tak ada perjamuan makan yang tak bubar. Begitu juga tulisan ini. Ada banyak kegilaan yang termuat di dalamnya, yang besar harapan kita semua mampu untuk berusaha ‘sedikit’ lebih gila dalam upaya menggilai Indonesia, agar kelak generasi di belakang kita tak lagi malu untuk mengaku sebagai bagian dari Indonesia, yang terus tergila-gila dengan Indonesia hari ke hari, waktu ke waktu, dengan kegilaan yang amat waras tingkatannya, dari sekedar menghujani negeri ini dengan gelegar tuntutan juga gemericik hasutan, tanpa satupun percik karya besar yang pernah sempat kita ukir. Salam maaf, salam berbagi.
Secangkir Kopi Jokowi: Tembang Sang Dalang- Babad pembuka, Mei Dini hari-23.015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H