Kisah ini saya peroleh secara numpang lewat saking remehnya, saat menjadi bayangan untuk yang pertama kalinya di daerah Barlingcapkebmas, Jawa Tengah.
“Wis tau krungu kisaeh kaji bangsat pa rung, Bay...?” tahu-tahu seorang ibu setengah tuwir nyeletuk kepada saya, yang saat itu tengah mati-matian berusaha menerjemahkan hirup demi hirup cairan kesat hitam berkebul, dengan amat khidmat.
“Apa kui, Bu, deneng syerem temen aran kajine...?” Ucap saya dengan logat yang kaku mentok, padahal sudah lebih dari dua tahun berusaha menaklukkan Bahasa Jawa, walau cuma ngapak. Dan agar lebih mudah dinikmati, kita ubah saja semuanya ke dalam Bahasa Indonesia.
Dahulu waktu masih zaman dungtong, ada seorang bapak bernama Udin yang pergi haji. Nama lengkapnya mungkin Jalaludin, atau Awaludin, Syaefudin, Syamsudin atau entah Udin siapa lagi terserah kekonyolan pelantun lagu ‘Udin Sedunia’ yang nyebelin sekaligus nggemesin itu. Tapi yang jelas, beliau tidak dipanggil Udin karena selalu bilang sama pemilik warung, “Utang DIngiN, ya...” alias utang dulu, ya...^_
Wuuzzz… Mendadak sekeliling saya hilang. Tak ada lagi suasana ruang tamu sederhana tempat saya mengopi. Tak ada lagi perangkat meja dan kursi yang akhir-akhir ini sangat setia menemani jalan sunyi yang tengah saya geluti. Bahkan cangkir kopi sayapun ikut raib entah kemana!
Sayup masih saya dengar tuturan ibu paruh baya itu, yang melantun pelan laksana tembang mocopat syafa’at, dengan nada yang melenting ke sana-ke mari bersama lirih gamelan yang ditabuh sebatas pendengaran yang paling minimal.
Dan diantara sayup yang magis itulah saya melayang, mendarat tepat di sebuah gubuk amat sederhana yang benarkah masih mirip gubuk itu?
Ini tentu kediaman Pak Udin, bisik saya pada diri sendiri. Benar-benar nyaris tak ada benda berharga di tempat ini. Agaknya peradaban benar-benar enggan untuk singgah di tempat ini, selain bukti minim berupa beberapa gerabah kualitas rendah plus peralatan penyambung hidup lainnya yang benarkah ini masih di Indonesia saking minimnya, dan bukannya di pedalaman hutan anu rimba anu.
Tapi justru dari kesederhanaan itulah saya merasa aneh. Mengapa Pak Udin bisa pergi ke Mekah? Dan mengapa tidak digunakan saja untuk menyulap kediamannya, hingga menjadi tempat yang lebih layak lagi untuk ditinggali oleh manusia, misalnya? Serta banyak lagi pertanyaan lainnya yang langsung membawa angan saya bergerilya tentang Si Anu yang mampu berkurban kambing walau cuma nenek tua pemulung jalanan, atau si Itu yang berhasil pergi haji dengan hanya mengandalkan hasil buruh tani serabutannya berpuluh-puluh tahun, yang jika di tangan saya pasti hanya akan menyisakan keluhan betapa amat tak leluasanya penghasilan berbanding harga-harga kebutuhan yang melambung bebas.
Satu-satunya barang dari gubuk reyot ini yang terkesan berharga di mata saya mungkin cuma ini: Seperangkat alat sholat pribadi. Berharga lebih karena nilai fungsinya, tentu saja, sebab tampilan fisiknya jelas tak lebih mewah dari kain yang biasa dipakai untuk membersihkan perabot kotor, yang saya yakin tidak akan pernah beliau jadikan mas kawin seperti ‘seremoni miris’ yang sudah terlalu sering kita dengar itu. Karena seringkali seperangkat alat sholat semewah apapun sukar menggugah keinginan yang diberi mas kawin untuk bersemangat dalam sholat, terutama ketika si pemberi, pun tidak akrab dengan ritual penghambaan itu. Siapa bilang pencitraan hanya terjadi di dunia politik...? ^_
Fragmen cepat berubah. Suasana kembali berganti sebab hidup memang aktor piawai yang memainkan perannya dengan amat menawan, dan membawa kita kepada keadaan tahu-tahu yang terus berulang. Tahu-tahu malam. Tahu-tahu pagi. Tahu-tahu sudah puluhan tahun kita hidup di dunia ini tanpa satupun karya besar yang pernah kita buat, atau setidaknya satu manfaat yang pernah kita ciprat buah makrifat untuk umat atau mungkin cuma sekedar bagi sahabat. Pada fragmen yang ini saya lihat Pak Udin berkemas, bersiap menuju karantina calon haji, lengkap dengan perangkat ibadah lusuh tersebut, yang agaknya tak pernah lepas dari kehidupannya.