Mohon tunggu...
Ahmad Maulana S
Ahmad Maulana S Mohon Tunggu... Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan -

Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan // Penikmat kutak-katik kata yang gemar mengembara dari satu bait ke larik yang lainnya // Cuma seseorang yang ingin menjadi tua tanpa rasa bosan, setelah sebelumnya beranak-pinak seperti marmut atau cecurut // Salam hangat persahabatan...^_

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

dari hujan ke hujan

13 Mei 2015   13:35 Diperbarui: 5 Juli 2015   08:41 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

(buat DS)

-

malam ini kulihat seribu kunang-kunang menari di pematang

membujuk benak untuk berpaling ke masa lekang

rendezvouz terakhir

yang tak pernah hendak meng-afkir

tatkala kau, perlihatkan cara terindah

seni merangkai cahaya

lewat desah-desah lirih bocah berwajah lusuh

yang berlomba mengeja alif-ba-ta dunia

juga seketip pemahaman tentang Tuhan

pada sebuah mushola

di lokasi penyimpan barang tua

dan segala rupa benda rongsokan

-

"ada rumput yang menari dan bergandeng dendang mengundang riang"

ucapmu, sambil mengulum senyum mementang tenang

menelusuri satu demi satu sketsa pelangi

dari jejak matahari yang sempat terpatri

-

di sini musim tak sering berganti, ucapmu lirih

dan baru kali itu dengan nada sedih

membeber ulang kitab ramalan masa depan

yang tak mesti dibaca terbata, sebab kefakiran

berkhalwat erat dengan kebodohan

dan bersatu menelikung kesempatan

hingga menjelma serupa angan

-

nasib menghasut waktu dan memerangkap mereka dalam jebak jejak

ayahnya, atau kakaknya, temannya

dan entah siapa saja yang menjadi 'teladan' di sana

ucapmu lagi menunjuk Si Iman yang anak seorang centeng diskotik

atau Si Amir adik pengedar obat-obat pembuat terbang

juga Si Rahman yang sepupunya mati saat membobol sebuah gudang

-

kita terlalu serakah, mengkavling surga dan keindahan

cuma untuk diri sendiri

sambil perlahan sembunyikan Tuhan

dalam sibuk hari-hari tanpa sempat berbagi

bisikmu lagi

seraya kembali melantunkan kitab suci

bersama mereka, dan memasungku dalam diam panjang yang termangu

menafsir lagi tentang hidup yang lalu

yang ternyata tak melulu cuma warna yang satu

-

masih pagi, ucapku

diam-diam menepis ragu

dan mulai mencatat segala diktat juga buku-buku

tentang dunia intelektualitas semu

yang kian santer dengan aroma tahayul itu

mengutak-atik berjurus rumus berlaksa angka

yang seringkali di kehidupan nyata

tak pernah bisa banyak berguna

serta menghapal teori-teori tingkat tinggi

yang bukan milik sendiri

yang jelas-jelas kian enggan berpihak pada hidup itu sendiri

-

masih pagi, ucapku lagi dengan suara sedikit bergetar

dan berharap agar waktu tak menyulapku menjadi sekedar operator

atau analisator

mungkin lebih baik kreator

asal bukan cuma kreatur

serupa baut dalam mesin besar dunia yang kian lamur

-

masih pagi, ucapku kali ini

dengan suara setengah berteriak

pada diri sendiri

hingga terasa agak perih dan sedikit serak

berharap dengannya dapat terhapus segala ingatan

tentang rumput yang masih terus saling berkelindan

dan bergandeng dendang mengundang riang

yang justru semakin kencang berkelebat-kelebat dan membayang

-

"aku harus ke laut, belum saatnya menjelma hujan,"

kukuhku, meminjam siklus hujan

dan menyusun ulang peta diri sendiri

menuju muara yang dikehendaki

-

namun entah mengapa

dari hujan ke hujan, aku semakin tak paham tentang hujan

tentang tetes-tetes kecil, yang entah pernah sebelumnya

mengayun di daun

menggertap di atap

atau meluncur perlahan setelah sebelumnya hinggap dan menyelinap

di kaca jendela dan barangkali juga di sudut facebookmu

yang setelah menggelepar-gelepar sejenak dipermainkan angin

lantas jatuh dan terjerembab menyelusupi segenap pori tanah dan batu

terus mengalir mencari jalan

menerjuni sungai menerobos laut

sebelum terik surya kembali menjemputnya sebagai uap yang kesat

dan kembali menjadi hujan lebat

-

tapi adakah hujan yang semuram ini?

hujan yang tak ingat pada hujan yang lain

hujan yang enggan untuk paham tentang hujan

hujan yang tak hendak peduli, apakah hujan yang kini

dapat menjadi jembatan

bagi hujan yang kemudian

-

dari hujan ke hujan

masih saja aku tak bisa mengerti tentang hujan

tentang tetes-tetes sedih dan keputus asaan

yang terus tercurah dari sudut-sudut paling marginal

dan menganak sungai tepat di depan kanal

mata batin, terus mengalir bersama tuli telinga hati yang bebal

dan terjebak, membentuk kubangan-kubangan kental yang pekat dan menggumpal

yang mungkin tak akan pernah bisa menjelma hujan lagi selamanya

yang mungkin hanya akan terus menjadi lumpur hitam yang kekal adanya

-

untuk hidup, kadang

kita harus mati

tegasku, sambil sangat bergegas dan terpontang-panting

kembali ke diri sendiri

mencoba menutup mata terhadap yang terjadi

alpa bahwa hati

seringkali memiliki kehendaknya sendiri

lupa bahwa nurani

tak pernah bisa disumpal dan dibohongi

-

: selalu rumput-rumput itu yang terus kutemui

selalu senyum itu yang terus menghantui

-

ah, rumput itu! senyum itu!

alangkah akrabnya dengan duniaku yang dulu...!

jauh waktu sebelum hidup menukarnya dengan warna abu

-

dan tiba-tiba saja aku menjadi sangat paham tentang hujan

tentang rumput

yang tertaut dari senyum-senyum teramat lembut

pada wajah kecil polos tanpa setitikpun beban tercermin

yang kian rancak menari dan bergandeng dendang mengundang riang

ketika hari ke hari

hanya kami isi dan lalui

dalam terang tanpa satupun noktah bayang-bayang

: melafadz tekad menerjemahkan keinginan

menyelami mimpi, mentakwilkan asa masa kemudian

dan menyibak segala yang menghalangi pandangan

hingga Tuhan tak lagi mesti tak kelihatan

hingga kesempatan tak lagi cuma ingin yang angan

hingga harapan tak lagi cuma khayalan

hingga hidup yang ada

waktu yang tersisa

hanya dipenuhi oleh kesibukan merenda bahagia

sibuk, merangkai cahaya

hingga entah nanti

dalam kisah yang selanjutnya

kami dapat menjadi hujan lagi

atau barangkali sekedar gerimis, yang menyejukkan: jiwa

-

"kita ke laut, dan bersama meniti masa menjelma hujan,"

ucapku sambil mengakhiri puisi ini pelan-pelan

dan kembali memaknai kehidupan

dari hujan yang satu ke hujan yang lain

- Secangkir Kopi Kata, Thorn Village-015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun