Mohon tunggu...
Ahmad Masykur
Ahmad Masykur Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kelembutan Dalam Hukuman Mati

2 Mei 2015   11:52 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:27 569
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KELEMBUTAN DALAM HUKUMAN MATI

Rabu 29 April 2015 dini hari yang lalu telah dilaksanakan eksekusi hukuman mati bagi para terpidana kasus narkoba. Berbagai macam komentar dan reaksi masyarakat baik di Indonesia ataupun dunia internasional. Sebagian ada yang mendukung, sebagian lain ada yang menolak, bahkan ada pula yang mengecam. Sebagian lain ada pula yang merasa iba dengan terpidana dan juga keluarga yang ditinggalkan. Semua mengekspresikan perasaannya pada kasus ini.

Di sini penulis tidak akan membahas tentang hukuman bagi pengedar narkoba menurut pandangan hukum Islam. Apakah boleh dijatuhi hukuman mati atau tidak. Yang akan penulis bahasa adalah seorang mukmin bagaimana kita menyikapi hukuman seperti ini?

Bolehkah seorang mukmin merasa iba kepada orang yang dijatuhi hukuman berat, jika memang secara hukum terbukti berhak mendapatkan hukuman tersebut. Allah berfirman, “dan janganlah kalian dikuasai oleh rasa iba terhadap keduanya (pelaku zina) dalam hal menegakan agama Allah” [QS. Annur: 2].

Ibn Asyur mengatakan bahwa yang dilarang bukanlah perasaan iba, karena ini adalah perasaan hati. Dan manusia tidak berkuasa mengatur perasaan hatinya. Namun yang dilarang adalah jangan sampai rasa iba ini menjadikan seorang menggugurkan hukuman atau menguranginya. [Attahrir wa Attanwiir].

Untuk itu sikap orang-orang yang memohon, meminta atau bahkan menuntut digugurkannya hukuman mati karena didorong oleh rasa iba atau alasan hak asasi manusia, adalah tidak benar menurut ayat di atas.

Sebaliknya. Bukan berarti dengan kita menjatuhkan hukuman berat pada pelaku kejahatan hati kita menjadi keras. Lalu kita memandang orang tersebut sebagai orang yang tercela karena telah melakukan kejahatan. Kemudian kita melemparkan segala macam sumpah serapah atau kutukan. Ini bukan hal yang dibenarkan dalam Islam.

Di zaman Rasulullah SAW ada seorang wanita melakukan zina. Lalu Rasulullah SAW menjatuhi hukuman rajam pada wanita tersebut. Dan di antara orang yang merajamnya adalah Khalid bin Walid. Saat itu Khalid mencela wanita tersebut. Melihat apa yang dilakukan oleh Khalid, Rasulullah SAW berkata, “Berhenti wahai Khalid! Demi Zat Yang jiwaku berada di tangan Nya, wanita ini telah bertaubat. Jika taubatnya dibagikan kepada penduduk Madinah maka akan cukup untuk semua”.

Hadis tadi menunjukkan bahwa mencela orang yang menjalankan hukuman adalah hal yang dilarang. Karena mungkin orang tersebut telah bertaubat. Dan jika ia benar-benar telah bertaubat maka Allah akan menerima taubatnya.

Selain itu hadis ini juga menunjukkan bahwa taubat seseorang tidak menggugurkan hukuman di dunia. Di mana Rasulullah SAW tetap menjatuhkan hukuman dan mengeksekusinya padahal beliau mengetahui bahwa wanita itu telah bertaubat.

Untuk itu sikap sebagian orang yang meminta digugurkan hukuman dengan alasan terpidana telah menunjukkan penyesalannya atas kejahatan yang dilakukan, dengan berperilaku baik selama dalam tahanan, dan hal lain yang menunjukkan perubahan kepada hal yang lebih baik. Sikap seperti ini tidak benar menurut hadis di atas. Di mana Rasulullah SAW tetap mengeksekusi hukuman pada wanita tersebut sekalipun ia telah bertaubat.

Lalu sikap yang benar adalah kita tetap melaksanakan hukum Islam dengan mengeksekusi hukuman pada orang yang dalam persidangan telah terbukti bersalah. Melaksanakan hukum tidak lain hanya karena perintah Allah, karena ingin menegakkan hukum, bukan yang lainnya. Melaksanakan hukum tanpa dipengaruhi rasa iba, tanpa memandang hina orang yang dihukum.

Dalam mengeksekusi tetap memperhatikan sisi kemanusiaan orang yang dihukum. Dengan memberikan segala hal yang menjadi haknya dan tidak memberi hukuman lebih dari yang seharusnya menurut hukum. Allah berfirman, “maka janganlah berlebihan dalam mengeksekusi hukuman mati” [QS. AlIsra: 33]. Jika ia harus ditahan, maka dalam tahanan ia harus diperlakukan seperti manusia umumnya yang memiliki hak. Karena yang harus dipikul oleh terpidana ini hanyalah hukuman mati, bukan yang lainnya. Bila lebih dari itu, maka ini masuk dalam kategori ‘berlebihan dalam mengeksekusi hukum’ sebagaimana tertera dalam ayat di atas.

Untuk itu menurut penulis, masa yang begitu jauh antara keputusan hakim atas terpidana hukuman mati dengan waktu eksekusi keputusan tersebut merupakan satu yang tidak boleh terjadi. Karena ini berarti terpidana bukan hanya dihukum mati, tetapi juga dihukum penjara selama masa itu.

Oleh karena itu jika hakim telah menetapkan hukuman mati bagi seorang terpidana maka sebaiknya hukuman tersebut sesegera mungkin dieksekusi. Kecuali jika terdapat sesuatu yang menghalanginya menurut hukum.

Hal ini pernah terjadi di zaman Rasulullah SAW. Ada seorang wanita ditetapkan sebagai terpidana dengan hukuman mati. Namun karena dia sedang dalam keadaan hamil, maka Rasulullah SAW memerintahkan untuk menunda eksekusi tersebut hingga wanita tersebut melahirkan. Setelah melahirkan Rasulullah menunda lagi hingga wanita tersebut menyusui anaknya hingga dua tahun. Setelah itu baru kemudian hukuman tersebut dieksekusi.

Bagi keluarga yang ditinggalkan. Kehilangan anggota keluarga adalah merupakan ujian yang berat. Harus disikapi dengan sabar dan keyakinan bahwa ini adalah bagian dari takdir Allah ta’ala yang harus disikapi dengan penuh keridhaan. Niscaya Allah akan membalas dengan kebaikan di dunia dan akhirat. [lih. Q.S Albaqoroh: 155].

Perlu juga diyakini -sekalipun berat- bahwa terpidana jika ia telah bertaubat dengan sungguh, maka dosanya telah Allah ampuni. Dan in syaa Allah akan masuk surga Allah ta’ala. Adapun eksekusi tidak lain hanyalah salah satu dari sekian banyak cara kematian. Dimana semua manusia pasti akan mati. Yang berbeda hanya cara kematiannya.

Dengan demikian perpisahan hanyalah di dunia. Dan itu bersifat sementara. Dan akan bertemu kembali di surga yang abadi selamanya. Allah menjanjikan orang yang beriman akan dikumpulkan bersama keluarganya yang beriman di surga Allah ta’ala. [lih. Q.S. Atthur: 21]

Semoga Allah membimbing kita pada kebenaran dalam setiap tindakan.

Wallahu a’lam bisshowab.

Oleh: Ahmad Masykur

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun