Mohon tunggu...
Ahmad Syadid
Ahmad Syadid Mohon Tunggu... Freelancer - Kenanglah, meski dalam dadamu aku tak lagi degup

kopi hitam

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kapankah Diam Itu Dikatakan Emas?

3 November 2019   11:54 Diperbarui: 3 November 2019   12:07 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kita tentunya pernah mendengar ada orang yang mengatakan "diam adalah emas?" Atau mungkin ada orang menegur kita untuk diam daripada nanti kita dapat predikat cerewet.

Lalu, pernahkah di dalam hati anda ada suatu keinginan untuk selalu bersikap diam? Sekali waktu tentunya anda pernah menginginkan dan pernah juga mengatakannya, walaupun sebenarnya sikap seperti itu sangat bertentangan dengan hati nuraninya. Sehingga batinnya merasa tersiksa karena bertentangan dengan watak aslinya.

Diam adalah emas, orang bijak mengatakan demikian. Lalu diam yang seperti apa sehingga diam bisa dikatakan emas? Misalnya, ketika di tengah-tengah orang banyak bicara dan tak ada manfaatnya maka diam itu baru bisa dikatakan emas.

Begitu juga ketika diam itu merupakan suatu kebijaksanaan yang paling baik dan bicara itu bagaikan di ujung tanduk. Disinilah diam itu terkadang merupakan perisai diri yang paling ampuh untuk menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi di sekitar kita.

Demikian pula dalam kehidupan manusia dalam suatu hal. Seorang tokoh agama, sosial akan berbicara manakala saatnya tiba. Jadi kapankah kita dituntut untuk bicara? Yaitu manakala bicara itu lebih utama daripada diam.

Sebagai contoh, ketika kita ditunjuk dan diminta untuk berpidato dalam suatu forum. Apakah kita hanya akan diam? Kalau kita diam berarti kita telah salah dalam mengartikan diam adalah emas, karena perkataan yang dituangkan dalam bentuk bahasa tidak sesuai dengan situasi kita waktu itu.

Seorang guru pernah mengatakan bahwa keplesetnya kaki itu lama-lama bisa sembuh, tapi kalau yang terpeleset itu lidahnya maka itu bisa mendatangkan petaka. Artinya, kalau suatu waktu kita terpeleset kaki kita, maka kemungkinan besar akan bisa sembuh.

Tapi coba kalau yang terpeleset itu lidahnya karena salah dalam mengatakan sesuatu, maka bisa mendatangkan kerugian bagi kita sendiri.

Diam merupakan kebijaksanaan dan strategi hidup. Kita dituntut untuk menganalisa secara tepat segala peristiwa, menyaring secara jernih apa yang bermanfaat bagi hidup ini dan menyimpulkan secara cerdas apa yang seharusnya kita lakukan serta menyikapi secara dewasa apa yang perlu kita sikapi. Itulah makna diam yang sesungguhnya.

Maka dari itu akan terasa lain betapa bedanya antara diam yang berdasarkan kebodohan dengan diam yang berdasarkan karena kebijaksanaan dan kedewasaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun