Mohon tunggu...
Lafon
Lafon Mohon Tunggu... Freelancer - Tukang

Penikmat Sepak Bola dan Tukang Mantau Timur Tengah

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Menyoal Kepulangan Eks-ISIS

1 April 2019   16:43 Diperbarui: 1 April 2019   17:13 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

"Keji, biadab, tidak berperikemanusiaan" mungkin akan terlintas dalam pikiran kita ketika ditanya soal ISIS. Memang, semua penduduk dunia pun tahu betapa kejinya aksi teror yang pernah mereka lakukan. Aksi yang bagi mereka sesuai dengan syariat Islam, justru tidak mendapatkan pembenaran dari umat Islam. Tampaknya, semua kengerian itu akan berakhir seiring kekalahan ISIS di wilayah terkhir mereka di desa Baghouz, Suriah. Setelah kekalahan ini, muncul polemik baru terkait nasib eks-ISIS. 

Beberapa waktu lalu saya telah menuliskan sikap saya terkait hal ini (Menanti Nasib Mantan Anggota ISIS di Indonesia). Mungkin tampak bodoh membiarkan orang-orang yang tidak berperikamanusiaan untuk kembali ke Indonesia. Namun, membiarkan mereka hidup dalam satu kamp dengan nasib yang tidak menentu pun sama berbahanya. Terlebih ada anak-anak yang masih memiliki masa depan panjang.

Kita tidak bisa bersikap egois dengan menolak mereka demi kemanan negara tetapi justru memberi ancaman bagi negara lain. Itulah mengapa menolak atau menerima kembali ISIS ke Indonesia sama-sama berpeluang menimbulkan ancaman baru. Dengan dasar itu saya lebih condong menggunakan kaidah usul fikih "jika dihadapkan pada dua mafsadat (kerusakan), maka mafsadat yang lebih besar harus dihindari dengan cara mengambil mafsadat yang lebih ringan" dibandingkan menggunakan kaidah "Menolak mudharat (bahaya) lebih didahulukan dari mengambil manfaat."

Seperti dalam tulisan saya sebelumnya, menerima kembali eks-ISIS untuk pulang ke Indonesia memiliki peluang untuk "menginsafkan" mereka. Sebaliknya, membiarkan mereka hidup tidak menentu di negara lain berpotensi besar melahirkan generasi baru terorisme yang mungkin saja lebih mengerikan dari sebelumnya karena ada misi balas dendam. 

Bagaimanapun, sedikit atau banyak, negara pasti menyumbang alasan mereka bergabung dengan ISIS, seperti kegagalan negara melalui pemerintahannya dalam mensejahterakan rakyat, ketidakadilan, dan lain sebagainya. Karena itu, iming-iming kesejahteraan, kemakmuran, dan keadilan yang ditawarkan oleh ISIS berperan penting dalam keberhasilan mereka merekrut para anggotanya. Maka, negara tidak bisa lepas tangan terkait nasib eks-ISIS ini. Negara harus hadir untuk menyambut kembali dan membimbing warga negaranya yang tersesat, dengan catatan  pemerintah harus benar-benar serius menangani masalah ini.

Singkatnya, kekerasan dan kekejian tidak bisa dilawan dengan hal yang sama. Ia harus dilawan dengan kelembutan dan kebaikan seperti yang diajarkan dalam semua agama. Salam damai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun