Salah satu faktor terpenting dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) adalah ketersediaan pasangan calon (paslon) yang akan bertanding dalam ajang demokrasi tersebut. Namun untuk melaju dalam pilkada, pasangan calon harus memenuhi kualifikasi tertentu sebelum mendaftarkan diri kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU). Berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 1 Tahun 2020, untuk mencalonkan diri dalam pilkada tingkat kabupaten/kota saja paslon harus memenuhi ambang batas (threshold) Daftar Pemilih Tetap (DPT) tertentu yang berkisar antara 6,5-10% suara yang didasarkan pada populasi kabupaten/kota yang akan dikompetisikan oleh pasangan calon tersebut.
  Demi memenuhi kualifikasi tersebut, pasangan calon kerap kali menggaet partai politik untuk mendukung mereka untuk melaju dalam pilkada. Hal ini dilakukan untuk memenuhi ambang batas DPT minimal dan memaksimalkan sumber daya yang akan dimanfaatkan sebagai dana kampanye politik mereka. Tidak jarang partai-partai politik tersebut bergabung satu sama lain untuk membentuk koalisi demi memenangkan satu pasangan calon tertentu. Pembentukan koalisi ini  bertujuan mengoptimalkan peluang terpilihnya pasangan calon yang mewakili kepentingan koalisi mereka.
  Ada juga pasangan calon perseorangan yang memilih untuk tidak bergabung dengan partai politik manapun dan sering dijuluki sebagai calon perseorangan. Namun karena tingginya tingkat kesulitan dalam memenuhi kualifikasi pencalonan, acap kali pasangan calon gagal dalam mendaftarkan diri mereka kepada KPU. Hal ini mengakibatkan minimnya jumlah pasangan calon yang akan berlaga dalam pilkada, bahkan sering kali hanya terdapat pasangan calon tunggal yang didukung oleh "koalisi gemuk" tertentu. Oleh karena itu, fenomena seperti pasangan calon tunggal melawan kotak kosong dapat terjadi.
Apa itu Kotak Kosong?
  Kotak kosong merupakan fenomena politik yang cukup baru dalam sejarah demokrasi Indonesia. Kotak kosong didefinisikan sebagai bentuk penolakan masyarakat terhadap pasangan calon tunggal yang berkuasa dalam kompetisi pemilihan kepala daerah atau pemilihan umum. Sejak diperkenalkan pada pilkada serentak pertama pada tahun 2015, jumlah kotak kosong dalam pilkada terus mengganda.
  Disadur dari kumparan.com, data menunjukkan bahwa ada 37 daerah dengan pasangan tunggal akan bertanding melawan kotak kosong pada pilkada 2024. Jumlah ini jauh berbeda dengan pilkada 2020 dimana fenomena kotak kosong hanya terjadi 25 daerah. Peningkatan jumlah kotak kosong ini menggambarkan kekhawatiran dan keresahan masyarakat yang merasa tidak dapat menyalurkan hak pilihnya secara bebas karena tidak adanya pasangan calon yang dapat mewakili aspirasi mereka. Satu-satunya pilihan yang bisa mereka lakukan hanyalah mencegah kemenangan pasangan calon yang kurang menggambarkan kebijakan politik ideal menurut mereka melalui mekanisme kotak kosong ini. Lalu, apakah yang akan terjadi jika kotak kosong menang dalam suatu pilkada?
  Berdasarkan Pasal 54D UU Nomor 10 Tahun 2016, pasangan calon tunggal hanya akan dikonfirmasi sebagai pemenang dalam Pilkada apabila mendapatkan suara lebih dari 50% suara sah. Sebaliknya, jika kotak kosong yang memperoleh 50% suara atau lebih, pasangan calon akan dinyatakan gagal dan pemilihan akan diulang pada periode pilkada serentak berikutnya. Merujuk pada aturan tersebut, wilayah dimana kotak kosong menang akan dikelola oleh pejabat sementara (Pjs) sampai kepala daerah terpilih secara resmi melalui pemilihan yang sah.
Tanggapan Para Ahli dan Pengamat Politik
  Pengamat politik Universitas Airlangga (Unair), Hari Fitrianto S.Ip, M.Ip dalam Unair News mengatakan bahwa peristiwa kotak kosong bukanlah tanda dari kemunduran demokrasi di Indonesia. Hari lebih menekankan bahwa peristiwa ini disebabkan oleh penyelenggaraan pemilu dan pilkada serentak dalam waktu yang berdekatan. Akar masalahnya dapat dilihat dari sedikitnya waktu yang dimiliki partai politik untuk mengkonsolidasikan pasangan calonnya sendiri dalam pilkada daerah setelah berkoalisi dalam pemilu nasional.
 "Pemilu nasional dan pemilu daerah sebaiknya tidak berlangsung bersamaan. Jika pemilu nasional, misalnya, dilakukan di tahun 2024, maka pemilu daerah idealnya dilaksanakan dua tahun setelahnya. Dengan menyerentakkan antara pemilu nasional dengan pilkada, partai politik dan calon-calon pemimpin di daerah tidak punya cukup waktu untuk melakukan konsolidasi" ujarnya.
  Pernyataan ini juga diamini oleh Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyati dan pengamat politik dari Universitas Airlangga, Ali Sahab dalam sebuah artikel BBC. Mereka menyatakan bahwa peta politik di Indonesia masih depengaruhi oleh Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus dalam pemilu nasional, sehingga merambat ke pilkada daerah yang digelar secara serentak pada tahun yang sama.
 "Dan ketika koalisi nasional merembes ke daerah, partai-partai lain agak ogah mencalonkan diri. Apalagi partai-partai yang tunduk dengan KIM Plus pasti ikut saja," ujar Ali.