"Mas, paprikanya berapa satu kilo?"
Istriku bertanya pada pedagang sayuran sambil menunjuk ke arah benda seperti apel dengan warna hijau, kuning dan merah.
"Enam puluh ribu satu kilonya, Bu." balas mamang penjual sayuran sambil mendekatkan baki yang berisi aneka paprika segar itu, agar lebih mudah dipilih tentunya.
Istriku memilih dua buah Paprika berwarna hijau dan kuning, seraya membayar sejumlah rupiah kepada mamang pedagang sayur.
Aku menyimpan pertanyaan dalam percakapan ringan dipasar itu, apa yang istimewa dari bumbu masakan sejenis cabai raksasa itu hingga bisa semahal itu --harga perkilonya sama dengan harga dua kilo buah apel--, ak berniat akan menanyakannya saat membantu istri memasak didapur nanti.
"Paprika itu menambah cita rasa sebuah masakan, kenapa warna hijau yang dipilih, karena itu paprika yang paling kuat cita rasanya dibanding warna kuning dan merah," ucap istriku mulai menjelaskan.
Bawang putih dan bawang bombay yang di iris tipis mulai dimasukkan ke dalam wajan, lalu daging sapi yang dipotong dadu menyusul kedalam wajan, setelah daging mulai berubah warna menjadi lebih muda, Â menyusul sejumput garam dan penyedap rasa. Aku mulai aduk perlahan semua isi wajan hingga tercium wangi yang menggoda lidah untuk mencoba.
"Nanti dulu, sabar ya, belum saatnya, aduk lagi sampai benar-benar matang." Istriku memberi pesan sambil mengecilkan api yang membakar wajan.
"Sekarang saatnya paprika, ini bumbu bagian akhir yang paling menarik." Lanjut istriku sambil menambahkan kecap manis pada wajan.
"Aduk lagi semua, Beb." Titah istri kemudian.
"Paprika itu menambah rasa pada masakan, tidak sebesar garam memang pengaruhnya, tapi tanpa paprika, ada rasa yang hilang dalam masakan ini."
"Paprika itu kayak bumbu kehidupan, bumbu istimewa itu masukkan belakangan, sesaat sebelum masakan matang, dia menjadi pembeda."
"Sekarang kamu boleh cobain, beb." Â istriku pun menyodorkan sendok kepadaku.